Harian Bisnis Indonesia     6 Jul 2022

Cumbu Semu Pajak Komoditas

Lampu penanda target pajak menghijau. Ruang fiskal pun melonggar, yang menebalkan modal pemerintah dalam melangkah menuju jalur konsolidasi. Kondisi ini tertolong oleh kinerja penerimaan pajak yang kembali positif. Namun, apakah ini menjadi pertanda ekonomi pulih? Tentu saja belum.

Setoran ke negara yang bersumber dari pajak memang terus menanjak. Hingga semester I/2022, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp868,3 triliun, tumbuh 55% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Tak pelak, kepercayaan diri pemerintah untuk menggapai target pada tahun ini sedang tinggi-tingginya. Pena petugas pajak pun tengah bersiap menggores angka yang menembus batas sasaran, sebagaimana tahun lalu.

Namun perlu diingat, ada faktor yang dominan dalam mengatrol penerimaan pajak pada 2022, yaitu komoditas.

Sejak pengujung tahun lalu, harga sejumlah komoditas memang terus parkir di level atas. Kondisi itu kian kokoh tatkala Rusia menginvasi Ukraina pada pengujung Februari lalu.

Pemerintah mencatat, ada sejumlah produk yang diuntungkan pada kondisi ini. Di antaranya adalah kelapa sawit, batu bara, tembaga, nikel, serta minyak dan gas (migas).

Hal itu dipertegas dengan realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Migas yang memang mencatatkan kenaikan cukup tinggi, yakni mencapai Rp43 triliun, melesat hingga 92,9% pada semester I/2022 secara tahunan.

Pun dengan sektor pertambangan, yang mampu membukukan performa sangat akseleratif. Pada paruh pertama tahun ini, setoran pajak dari pertambangan meroket hingga 286,8%, jauh di atas sektor lain.

Sadar besarnya efek harga komoditas itu, pemerintah pun tak ragu mengerek sasaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022.

Kementerian Keuangan bahkan hingga dua kali merevisi ke atas target pajak. Terbaru, angka sasaran yang dituju adalah Rp1.608,1 triliun, naik sebesar 8,29% dibandingkan APBN Perubahan 2022, dan melesat hingga 25% dibandingkan dengan realisasi tahun lalu.

“Pertambangan mengalami pertumbuhan signifikan terutama dipengaruhi oleh tren kenaikan dan bertahannya harga komoditas pada tingkat harga yang tinggi,” tulis Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN Semsester I/2022 yang dikutip Bisnis.

Kendati demikian, hal yang perlu diingat adalah karakteristik dari masing-masing jenis pajak. Sekadar informasi, PPh Migas amat erat kaitannya dengan harga kedua komoditas itu di pasar global.

Hal yang sama juga berlaku pada setoran pajak yang bersumber dari sektor pertambangan.

Makin tinggi harga di pasar, otomatis pajak yang disetorkan ke negara juga kian besar. Singkat kata, pemerintah tak perlu sibuk melakukan berbagai upaya untuk mengejar setoran pajak migas.

Leha-leha sepanjang tahun pun capaian PPh Migas atau setoran sektor pertambangan tinggi, selama harga jual di pasar tetap mahal.

Jika demikian, klaim ekonomi yang sepenuhnya pulih kurang tepat. PPh Nonmigas misalnya, yang pertumbuhannya pada semester I/2022 di bawah migas, yakni 71,4%.

Pajak atas konsumsi apalagi, hanya mencatatkan kenaikan 38,2%. Hal ini merefleksikan bahwa daya beli masyarakat belum sepenuhnya tangguh, dengan berkaca pada setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Tak hanya itu, besarnya ketergantungan pada komoditas juga mempercepat risiko penggerusan penerimaan. Sejalan dengan itu, pemerintah perlu melakukan langkah antisipatif agar penerimaan pajak tetap optimal.

Apalagi, harga komoditas bersifat cyclical atau berlaku dalam periode tertentu. Artinya, tingginya harga komoditas bukan karena faktor struktural yang bertahan lama.

“Jadinya, harga komoditas akan memberikan dampak sementara terhadap penerimaan pajak,” kata Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar kepada Bisnis, Selasa (5/7).

Dia memprediksi, setoran negara dari komoditas akan melandai pada Agustus—September karena menguatnya ekspektasi terhadap tertahannya laju kenaikan harga produk tersebut.

Sementara itu, otoritas pajak seolah menutup mata dengan fakta belum maksimalnya pemulihan ekonomi dan risiko dari besarnya ketergantungan pada pajak komoditas.

Parahnya lagi, pada tahun ini target PPh Migas kembali dikerek melalui APBN Perubahan, yakni dari Rp47,31 triliun menjadi Rp64,65 triliun, atau meningkat sebesar 36,65%.

Sejalan dengan itu, pemerintah juga menaikkan target penerimaan PPh Badan atau pajak korporasi sebesar 39,01% yakni dari Rp185,14 triliun menjadi Rp257,37 triliun.

Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan kondisi dunia usaha cukup bagus, lantaran beberapa harga komoditas melonjak.

Hal inilah yang kemudian mendorong pemerintah menaikkan target. “Dari 2021 bagus, otomatis akan meningkatkan penerimaan,” ujarnya.

Merespons hal ini, kalangan pelaku usaha menilai kondisi ekonomi dan performa komoditas memang tak bisa dimungkiri, mampu menjadi pengatrol penerimaan.

SYARAT WAJIB

Akan tetapi, ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi untuk dapat mencapai target baru yang ditetapkan.

Pertama, dukungan terhadap pemulihan ekonomi melalui berbagai stimulus baik fiskal maupun moneter. Kedua, penguatan proteksi daya beli masyarakat sehingga mampu mengakselerasi konsumsi.

Ketiga, merealisasikan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini minimal di angka 5%. “[Syaratnya pertumbuhan ekonomi] di kisaran 5%,” kata Anggota Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan Ajib Hamdani.

Secara umum, dunia usaha pada tahun ini memang jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun pertama ataupun tahun kedua pandemi Covid-19.

Akan tetapi, perkembangan inflasi yang juga disebabkan oleh komoditas terutama pangan dan energi membuyarkan skenario bisnis yang berimplikasi pada terbatasnya pendapatan yang diperoleh.

Berbagai faktor itu dapat berimbas pada kinerja perusahaan, karena tingginya harga energi dan komoditas meningkatkan biaya produksi. Jika profitabilitas dunia usaha tak tumbuh optimal, setoran pajak pun akan terpangkas.

“Yang kami khawatirkan biaya-biaya naik, laba turun,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani.

Cumbu komoditas memang amat menggiurkan. Pemerintah pun tak perlu melakukan pengawasan ataupun pemeriksaan, setoran akan datang.

Akan tetapi, struktur pajak yang tergantung pada komoditas tentu saja tak sehat. Hal ini akan meningkatkan kerentanan fiskal dan merapuhkan fondasi menuju jalur konsolidasi pada tahun depan. (Ni Luh Anggela)


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17020.23
USD 15594
GBP 19926.95
AUD 10286.43
SGD 11692.11
* Rupiah

Berlaku : 20 Mar 2024 - 26 Mar 2024