Harian Bisnis Indonesia     27 Oct 2022

Trik Amankan Pajak & Investasi

Kabar baik untuk dunia usaha. Pemerintah tengah memoles skema insentif fiskal untuk dunia usaha pada tahun depan. Skema itu bakal dirancang sedemikian rupa agar tak bertentangan dengan konsensus perpajakan global yang bakal berlaku mulai 2023.

Pemerintah menilai, kehadiran beragam insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, hingga super tax deduction, terbukti manjur memacu gairah penanaman modal.

Aliran investasi yang lancar pun diharapkan mampu memperkuat penerimaan pajak korporasi yang selama ini menjadi salah satu andalan keuangan negara.

Jika ditelaah, guyuran insentif memang bertentangan dengan semangat dari konsensus perpajakan global, Pilar 2: Global Anti Base Erosion (Globe), yang mulai berlaku tahun depan.

Sebab, salah satu semangat konsensus itu adalah memberantas banjir insentif dan perang tarif pajak korporasi yang berisiko memicu praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional.

Adanya kebijakan insentif juga berisiko menghapus hak pemajakan Indonesia karena tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang berlaku secara efektif berpotensi berada di bawah konsensus global sebesar 15%.

Pemerintah bukannya abai dengan risiko tersebut. Kepada Bisnis, Selasa (25/10), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan otoritas fiskal memiliki racikan yang bisa mengamankan dua kepentingan itu sekaligus, yakni pajak dan investasi.

Menurutnya, pemerintah akan terus menjaga agar tidak terjadi penggerusan basis pajak pada tahun depan. Salah satu strategi yang dilakukan adalah instrumen pajak minimum domestik yang juga diakomodasi dalam konsensus perpajakan global.

Sembari hal tersebut dilakukan, kata Sri Mulyani, pemerintah juga akan mempertahankan insentif fiskal sebagai kendaraan untuk memacu penanaman modal.

Menurutnya, oportunisme diperlukan guna mengamankan potensi penerimaan sekaligus menarik minat investor sehingga ekonomi kian terpacu.

Sekadar informasi, pajak minimum domestik atau Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT) diaplikasikan bersamaan dengan implementasi konsensus perpajakan global, Pilar 2. Keduanya saling melengkapi agar negara berkembang seperti Indonesia dapat mempertahankan basis pajak atau hak pemajakan.

Melalui implementasi QDMTT tersebut, pemajakan korporasi multinasional akan tetap berada pada negara yang menjadi ladang bisnis perusahaan tersebut.

Perihal dinamika tersebut, sejatinya pemerintah sejak jauh-jauh hari telah mengirimkan sinyal akan mempertahankan fasilitas PPh Badan pada tahun depan.

Hal itu pun tecermin dalam salah satu regulasi tentang kemudahan berusaha di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang juga menjadikan fasilitas pajak korporasi sebagai karpet merah investor.

Menkeu Sri Mulyani menegaskan, tebar insentif acap dijadikan strategi oleh banyak negara untuk membangun industri dan mengembangkan investasi. “Jepang dan Korea Selatan membangun industrinya juga dengan insentif pajak,” katanya.

INSENTIF SELEKTIF

Komitmen senada disampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, yang mengatakan insentif pajak tetap diberikan pada tahun depan, tetapi dengan mekanisme yang lebih selektif.

Dia menjelaskan, dalam memberikan tax holiday, pemerintah selalu menerapkan prinsip kehati-hatian karena pemberian keringanan kepada dunia usaha tersebut akan berdampak kepada keuangan negara.

“Kami mempertimbangkan beberapa aspek keekonomian, seperti IRR [Internal Rate of Return] yang disesuaikan dengan ekspektasi break even point,” kata Bahlil kepada Bisnis.

Menurutnya, Kementerian Investasi dan Kementerian Keuangan tengah merumuskan skema pemberian insentif yang ideal agar penerimaan negara tetap aman.

Selain menguatkan proteksi melalui pajak minimum domestik, pemerintah juga akan memanfaatkan fasilitas carve out.

Artinya, perusahaan multinasional yang beroperasi di negara dengan tarif lebih rendah dari 15%, bakal mendapatkan pengecualian. 

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, sektor yang akan mendapat fasilitas tersebut antara lain pertambangan, sumber daya alam, dan sektor keuangan.

Kalangan pelaku usaha pun merespons positif komitmen pemerintah untuk tetap memberikan stimulus fiskal dalam rangka mendorong kemudahan berusaha dan penanaman modal.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani, otoritas fiskal memang seyogiayanya tetap mengakomodasi kebutuhan pelaku bisnis tanpa mengabaikan komitmen yang disepakati mengenai pemajakan korporasi multinasional.

“Kebijakan pajak minimum domestik menjadi pola kebijakan yang membuat sehat dunia usaha secara global, dan menata praktik transfer pricing menjadi lebih sehat dan teruku,” jelasnya.

Sementara itu, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, memandang langkah pemerintah mempertahankan fasilitas PPh kepada korporasi kurang sejalan dengan visi dari Pilar 2.

Menurutnya, konsensus ini ditujukan agar negara berkembang berhenti memberikan insentif pajak bagi perusahaan multinasional dan menggunakan anggaran stimulus tersebut ke belanja yang lebih tepat.

“Apalagi, pemberian insentif pajak juga dapat digunakan untuk melakukan penghindaran pajak,” ujarnya.

Fajry menilai, rencana pemerintah itu bertolak belakang dengan tujuan awal Pilar 2, yakni menghapus insentif bagi korporasi multinasional.

Di sisi lain, menurutnya pemerintah juga perlu lebih aktif terlibat dalam negosiasi sektor usaha yang mendapatkan fasilitas carve out dalam perundingan konsensus tersebut. (Wibi P. Pratama/Ni Luh Anggela)


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024