Harian Kompas     5 Jul 2022

Transparansi Perpajakan Diharapkan Meningkat

JAKARTA, KOMPAS — Program Pengungkapan Sukarela atau PPS yang telah berakhir pada 30 Juni 2022 lalu diharapkan dapat meningkatkan rasa percaya dan transparansi perpajakan antara pemerintah dan wajib pajak. Di sisi lain, pemerintah diharapkan tidak menggulirkan program serupa lagi ke depan demi menjaga kepatuhan wajib pajak.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat, sepanjang enam bulan pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 1 Januari-30 Juni 2022, jumlah harta bersih yang dilaporkan dalam program tersebut mencapai Rp 594,82 triliun, dengan pembayaran kewajiban pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp61,07 triliun.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berharap, dengan terwujudnya basis data perpajakan yang lebih baik setelah penyelenggaraan PPS, penerimaan pajak dan rasio pajak bisa meningkat. Seiring dengan itu, rasa percaya dan transparansi antara pemerintah dan pelakuusaha sebagai wajib pajak yang disasar juga diharapkan lebih membaik.

”Setiap pihak harus menjaga rasa percaya (trust) ini. Wajib pajak harus menghitung dan membayar pajak secara lebih jujur dan akurat, pemerintah pun harus lebih profesional. Jangan terkesan nantinya mencari-cari kesalahan. Semua sama-sama harus transparan,”kata Hariyadi dalam konferens ipers daring, Senin (4/7/2022).

Wakil Ketua Umum Apindo Suryadi Sasmita mengingatkan, setelah terlaksananya program tersebut, pengusaha harus lebih berhati-hati dan jujur membayar pajak. Pasalnya, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan ke depan akan melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap kondisi aset dan kepatuhan wajib pajak melalui sistem pertukaran informasi rekening wajib pajak (automatic exchange of information/AE-OI).

”Hati-hati karena Ditjen Pajak punya sistem yang sangat canggih, sampai bisa melihat rekening koran, sampai menelusuri kartu kredit para wajib pajak,” kata Suryadi.

Menurut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, PPS menjadi salah satu instrumen untuk mendorong kepatuhan pajak dengan biaya efisien sekaligus memberikan kepastian stabilitas penerimaan negara secara berkelanjutan.

”Seluruh data perpajakan yang kami dapat, baik dari pelaksanaan PPS, program tax amnesty di tahun 2016, maupun yang kami dapat dari data pertukaran dengan otoritas pajak negara lain, akan ditindaklanjuti untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus menggali potensi penerimaan negara,” paparnya.

Tidak digulirkan lagi

Direktur Riset Center of Reform on Economics Indonesia Piter Abdullah menilai, program pengampunan pajak yang terus-menerus digulirkan bisa menjadi bumerang yang membuat wajib pajak terlena. Menurut dia, jumlah peserta PPS yang cukup besar kali ini menunjukkan besarnya jumlah wajib pajak yang tidak mematuhi program pengampunan pajak jilid satu sebelumnya.

”Pemerintah seharusnya bisa mengenakan penalti yang besar dan mendapat potensi penerimaan pajak yang jauh lebih tinggi. Adanya program tax amnesty jilid kedua ini membuat wajib pajak berharap akan ada tax amnesty jilid berikutnya, yang artinya bisa membuat wajib pajak menjadi tidak patuh kedepannya,” katanya.

Ia berharap pemerintah bersikap tegas dan tidak lagi menjalankan program pengampunan pajak setelah ini. ”Ini tergantung kemauan pemerintah. Pengawasan yang lebih ketat sebenarnya sudah bisa dilakukan sejak program tax amnesty jilid satu kemarin, kalau digulirkan lagi, pemerintah jadi tidak kredibel,” papar Piter.

Terkait hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, dengan berakhirnya pelaksanaan PPS, pemerintah tidak akan lagi menggelar program pengampunan pajak. (AGE/DIM)


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024