Harian Bisnis Indonesia     4 Jul 2022

Tax Amnesty Minim Legasi

Bisnis, JAKARTA — Program pengampunan pajak alias Tax Amnesty menjadi legasi yang minim prestasi. Terlepas dari klaim sukses pemerintah, faktanya realisasi deklarasi dan repatriasi harta dari luar negeri masih jauh panggang dari api.

Berdasarkan penghitungan Bisnis dengan mengacu pada data McKinsey & Company yang dirilis pascapemerintah melaksanakan program pengampunan pajak 2016, total harta warga negara Indonesia (WNI) yang diparkir di luar negeri mencapai US$250 miliar.

Dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang kala itu di angka Rp13.000, maka total harta WNI di yurisdiksi lain mencapai Rp3.250 triliun.

Sementara itu, dalam dua program pengampunan, yakni Tax Amnesty Jilid I pada 2016 dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) 2022 atau Tax Amnesty Jilid II, total deklarasi harta luar negeri hanya senilai Rp1.096,28 triliun.

Secara terperinci, deklarasi harta dalam Tax Amnesty 2016 senilai Rp1.036,37 triliun, sedangkan pada PPS yang berlangsung pada 1 Januari—30 Juni 2022 senilai Rp59,91 triliun.

Adapun, dari total deklarasi tersebut, realisasi repatriasi harta pada dua program itu hanya Rp162,73 triliun, yang terdiri dari Tax Amnesty 2016 senilai Rp146,68 triliun dan repatriasi PPS 2022 di angka Rp16,05 triliun.

Dengan demikian, masih ada aset senilai Rp933,55 triliun hasil deklarasi dua program pengampunan pajak yang diparkir di luar negeri atau belum dipulangkan ke Tanah Air.

Selain itu, dengan baru dideklarasikannya harta WNI di yurisdiksi lain senilai Rp1.096,28 triliun, maka masih terdapat harta senilai Rp2.153,72 triliun yang belum terdeteksi karena belum terungkap pada Tax Amnesty 2016 ataupun PPS 2022.

Dalam kaitan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa esensi dan tujuan dari program pengampunan pajak adalah meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, baik yang memiliki aset di dalam maupun luar negeri.

Menurutnya, repatriasi atau memulangkan harta dari luar ke dalam negeri bukanlah tujuan utama. Musababnya, tidak sedikit wajib pajak yang masih memanfaatkan harta itu untuk membantu operasional usaha.

“Tidak selalu kalau di luar negeri itu sembunyi. Ini tidak balik [repatriasi] mungkin karena bagian dari operasi usaha mereka [peserta pengampunan pajak],” kata Menkeu, akhir pekan lalu.

Dia menambahkan, tidak semua harta deklarasi luar negeri dimiliki oleh WNI yang menetap di yurisdiksi lain. Beberapa di antaranya dimiliki oleh wajib pajak yang menetap di dalam negeri.

Sri Mulyani mengatakan, poin terpenting dalam pelaksanaan program pengampunan, baik Tax Amnesty 2016 maupun PPS 2022, adalah data dan informasi yang berhasil dikantongi oleh otoritas pajak.

Dengan demikian, pemerintah memiliki dasar yang kuat apabila pada masa mendatang wajib pajak tersebut berusaha melakukan praktik penghindaran melalui penempatan aset di yurisdiksi lain.

“Yang penting buat kita adalah sekarang informasinya sudah ada di kita, jadi itu tidak menjadi masalah kalau mereka ada di luar negeri,” tegasnya.

KURANG DIMINATI

Sementara itu, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menjelaskan ada beberapa faktor yang menjadi penyebab rendahnya minat peserta PPS dalam melakukan repatriasi harta

Pertama, instrumen investasi yang ditawarkan tidak menarik bagi wajib pajak, sehingga lebih memilih untuk tetap menempatkan dananya di luar negeri. “Terutama di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini yang ditandai melonjaknya inflasi global,” kata Wahyu.

Kedua, perbedaan tarif antara deklarasi harta luar negeri dan repatriasi dalam PPS yang tidak berbeda jauh. Sekadar informasi, dalam PPS 2022, tarif yang dikenakan oleh pemerintah berkisar 6%—18%, lebih tinggi dibandingkan dengan Tax Amnesty 2016 yang di kisaran 2%—10%.

Sejalan dengan itu, menurut Wahyu, pemerintah perlu melakukan pembenahan ekosistem investasi dalam rangka meningkatkan rasio harta repatriasi pada program PPS. “Caranya dengan menjaga kepastian hukum, termasuk kepastian di bidang perpajakan dan kelangsungan usaha,” ujarnya.

Instrumen investasi memang menjadi penghambat masuknya harta yang diungkap dalam program ini. Musababnya, pemerintah amat membatasi opsi investasi bagi pencari ampunan pajak hanya pada Surat Berharga Negara (SBN) serta energi baru dan terbarukan (EBT) atau penghiliran sumber daya alam (SDA).

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menilai, skema repatriasi memang kurang menarik minat peserta pengampunan pajak karena imbal hasil dari investasi yang disediakan amat kecil.

Menurutnya, SBN memang memberikan imbal hasil yang pasti dan risiko rendah. Akan tetapi, holding period yang diwajibkan pemerintah terlampau lama, yakni 5 tahun. Artinya, selama 5 tahun peserta tidak diperkenankan untuk menarik dananya dari instrumen investasi tersebut.

Pemerintah memang memberikan kesempatan bagi peserta untuk memindahkan aset investasi yang dipilih. Namun hal itu tidak mengubah ketentuan mengenai holding period.

Prianto menambahkan, PPS juga tidak memiliki efek kejut pada penerimaan negara mengingat mayoritas peserta berasal dari kalangan karyawan. “Performa PPS dari perspektif penerimaan pajak memang jauh dari benchmark Tax Amnesty 2016,” ujarnya.

Faktor penghambat lain adalah pandemi Covid-19. Implementasi program yang berbarengan dengan pemulihan ekonomi menjadi penyebab terbatasnya pengusaha yang mengikuti PPS.


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024