Harian Bisnis Indonesia     1 Jul 2022

Sinyal Implementasi Menguat

Bisnis, JAKARTA — Di tengah rencana pembatalan pungutan, pemerintah justru mengutak-atik target penerimaan cukai dari minuman bergula dalam kemasan pada tahun ini. Revisi target ini pun kembali memunculkan isyarat otoritas fiskal untuk mengeksekusi ekstensifikasi cukai.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 98/2022 tentang Perubahan atas Perpres No. 104/2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022, target cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) ditetapkan senilai Rp1,19 triliun.

Angka sasaran tersebut turun dibandingkan dengan target awal pemerintah yang tertuang dalam Perpres No. 104/2022 yakni senilai Rp1,5 triliun.

Sekadar informasi, dalam riset yang dilakukan oleh Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, potensi penerimaan cukai dari minuman bergula mencapai Rp6,25 triliun per tahun.

Adapun, target cukai MBDK senilai Rp1,5 triliun ditetapkan dengan asumsi pengenaan hanya dilakukan selama 3 bulan. Artinya, rata-rata target pungutan per bulan Rp520 miliar. Dengan demikian, ada potensi implementasi cukai MBDK dilakukan menjelang pergantian tahun.

Sumber Bisnis yang dekat dengan otoritas fiskal mengatakan pemerintah memang merancang skema pengenaan cukai pada MBDK pada akhir tahun, dengan asumsi aturan teknis terbit pada paruh kedua tahun ini.

Dalam kaitan ini, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan pemerintah memang sudah sepatutnya melakukan ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) untuk mengeruk penerimaan negara.

Menurutnya, eksekusi perluasan BKC memang cukup mendesak, terutama terhadap barang yang menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan atau pun kesehatan, termasuk plastik dan MBDK.

“Harus diperhatikan penarikan cukai harus dikaitkan dengan kerusakan. Jadi, cukai dimaksudkan untuk mengatur perilaku orang,” katanya kepada Bisnis, Kamis (30/6).

Secara khusus, dia meminta kepada pemerintah untuk segera merealisasikan pengenaan cukai terhadap minuman kemasan berpemanis karena berisiko meningkatkan obesitas.

Selain itu, pemerintah juga memiliki ketergantungan yang amat tinggi terhadap cukai hasil tembakau (CHT) sehingga acap mengabaikan atau menunda misi ekstensifikasi.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menambahkan, dalam mengeksekusi cukai MBDK, pemerintah juga perlu memperhatikan kondisi pelaku usaha agar kebijakan yang disusun tidak menambah beban baru.

Menurutnya, sepanjang industri yang menjadi objek pungutan telah bergeliat setelah pandemi, maka pungutan tambahan bisa segera diimplementasikan oleh pemerintah.

“Yang menentukan adalah data di tingkat industri. Kalau datanya menunjukkan pertumbuhan yang kuat, tak masalah jika akan dikenakan cukai,” ujarnya.

BERLIKU

Sejatinya, misi ekstensifikasi cukai telah terakomodasi dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Hanya saja, proses perluasan BKC memang membutuhkan waktu yang cukup lama.

Salah satunya adalah pembahasan di Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menentukan target yang akan disasar pemerintah. Kemudian, Ditjen Bea Cukai juga wajib menginformasikan perluasan cukai itu kepada Komisi XI DPR yang membidangi keuangan.

Sementara itu, tarik ulur pengenaan cukai MBDK memang cukup alot. Kendati dimuat dalam APBN 2022, otoritas kepabeanan sempat berencana untuk menunda implementasi kebijakan tersebut dengan pertimbangan kondisi ekonomi.

Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Askolani kepada Bisnis sebelumnya menjelaskan, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan untuk memungut cukai MBDK.

Pertama, kondisi ekonomi global yang kini masih penuh dengan tantangan.

Kedua, progres pemulihan ekonomi nasional termasuk ketahanan dunia usaha.

Ketiga, korelasinya dengan kebijakan fiskal nasional.

“Nanti [eksekusi dan perumusannya] ditunggu pada waktunya,” kata Askolani, belum lama ini.

Selain MBDK, dalam menjalankan ekstensifikasi cukai pemerintah juga menyasar plastik serta barang dari plastik sebagai objek yang akan dikenai pungutan.

Bisnis mencatat, pada 2017 penerimaan negara dari cukai kantong plastik ditargetkan sebesar Rp1,6 triliun, kemudian turun menjadi Rp500 miliar pada 2018 dan 2019, lalu dipangkas lagi menjadi Rp100 miliar pada 2020.

Adapun pada tahun lalu, target pendapatan cukai plastik ditetapkan senilai Rp500 miliar dan pada tahun ini senilai Rp1,9 triliun. Khusus penetapan MBDK sebagai BKC baru diimplementasikan pada tahun ini.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Amir Uskara mengatakan penerapan ekstensifikasi cukai plastik dan MBDK patut dilakukan dalam rangka menggali potensi penerimaan negara dari barang-barang yang memiliki sifat dan karakteristik sesuai dengan UU Cukai.

“Pengenaan cukai ini juga bertujuan untuk mendukung implementasi UU HPP,” ujarnya. 


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024