Harian Bisnis Indonesia     10 Mar 2022

Potensi Penerimaan Tenggelam

Bisnis, JAKARTA — Penundaan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai dari 10% menjadi 11% pada bulan depan berimplikasi pada terpangkasnya potensi penerimaan negara dari pengenaan pungutan atas konsumsi masyarakat.

Berdasarkan penghitungan Bisnis, potensi penerimaan pajak yang hilang jika tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dibatalkan mencapai Rp97 triliun.

Angka tersebut diperoleh dengan mengacu pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang pada tahun ini ditargetkan sebesar 5%—5,3%, dan dengan asumsi pengenaan tarif 11% berlaku sepanjang tahun.

Berkaca pada target pertumbuhan itu, maka konsumsi rumah tangga pada tahun ini berkisar Rp9.697,8 triliun—Rp9.725,5 triliun, dan potensi penerimaan PPN dengan mengesampingkan fasilitas pengecualian adalah Rp1.066,7 triliun—Rp1.069,8 triliun.

Sementara itu, secara rata-rata dalam 3 tahun terakhir belanja perpajakan atau tax expenditure yang dikucurkan oleh otoritas fiskal untuk PPN berada di angka Rp149 triliun.

Dengan menggunakan tarif 11% dan asumsi di atas, serta dikurangi belanja perpajakan, maka potensi penerimaan PPN pada tahun ini di kisaran Rp917,7 triliun—Rp921,8 triliun.

Adapun, jika tarif PPN tetap dibebankan sebesar 10% maka potensi penerimaan yang dikantongi pemerintah di kisaran Rp820,7 triliun—Rp823,5 triliun. Artinya, ada selisih Rp97 triliun dari penundaan kebijakan pengetatan tarif itu.

Hal yang perlu diperhatikan, proyeksi pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun ini sebesar 5%—5,3% adalah target optimistis, yang disusun pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022.

Rumusan itu disusun sebelum varian Omicron Covid-19 melanda Tanah Air yang mendorong pemangku kebijakan kembali mengetatkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sehingga mereduksi konsumsi.

Dengan demikian, peluang bagi pemerintah untuk menggapai angka sasaran tersebut makin kecil lantaran daya beli masyarakat yang kembali terimpit.

Faktanya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga pada tahun lalu hanya tumbuh 2,02%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan level prapandemi atau angka alamiah, yakni di kisaran 5%.

“Memang penundaan tersebut berpotensi menggerus penerimaan PPN,” kata pengajar ilmu administrasi fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono, kepada Bisnis, Rabu (9/3).

Dia menambahkan, kebijakan ini juga berisiko menghambat berbagai sasaran pemerintah yang memiliki misi untuk memaksimalkan penerimaan pajak atas konsumsi masyarakat pada tahun ini.

Prianto menyarankan kepada otoritas fiskal untuk lebih cermat memberlakukan penundaan kenaikan tarif dengan tetap menjaga potensi penerimaan, tetapi tanpa menambah beban masyarakat.

Pemerhati pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menambahkan, sesungguhnya dampak dari kenaikan tarif PPN terhadap inflasi sangat terbatas. Pasalnya, UU HPP mengakomodasi beragam fasilitas pengecualian terhadap barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat.

Keputusan untuk menunda kenaikan tarif PPN itu disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor. Saat ini tim teknis pemerintah tengah melakukan kajian perihal implementasi tarif baru PPN.

Dalam kajian tersebut, kata Neil, tidak tertutup kemungkinan kenaikan tarif pajak atas konsumsi ini ditunda, walaupun UU No. 7//2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengamanatkan pelaksanaan tarif 11% berlaku pada bulan depan.

Hal ini pun dikonfirmasi oleh Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, yang mengatakan inflasi menjadi dasar dari argumentasi pemerintah dalam menentukan kebijakan ini.

Akan tetapi, Neil kemudian mengklarifikasi bahwa sejauh ini keputusan pemerintah masih belum bulat. “Belum ada informasi mengenai hal itu [penundaan kenaikan tarif PPN menjadi 11%],” kata Neil saat dimintai konfirmasi ulang Bisnis.


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024