Harian Bisnis Indonesia     9 Mar 2022

Tarik Ulur Tarif PPN, antara Populis dan Politis

Rapuhnya daya beli masyarakat, ancaman lonjakan inflasi, hingga kentalnya muatan politis diyakini memaksa pemerintah untuk menunda kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% yang seyogianya berlaku pada bulan depan.

Kenaikan tarif PPN otomatis menekan daya beli, karena pajak ini menyasar barang dan jasa yang selama ini dikonsumsi publik secara luas.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan saat ini tim teknis pemerintah tengah mengkaji implementasi tarif baru PPN.

Dalam kajian tersebut, kata Neil, tidak tertutup kemungkinan kenaikan tarif pajak atas konsumsi ini ditunda, walaupun UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengamanatkan pelaksanaan tarif 11% berlaku pada bulan depan.

Hal ini pun dikonfirmasi oleh Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, yang mengatakan inflasi menjadi dasar dari argumentasi pemerintah dalam menentukan kebijakan ini.

“Pemerintah masih mencermati dinamika dan melakukan koordinasi menyeluruh, dalam konteks inflasi ini,” kata Prastowo kepada Bisnis, Selasa (8/3).

Tak berlebihan apabila menjadikan inflasi sebagai dalih utama untuk menunda kebijakan tersebut.

Maklum, saat ini momok inflasi telah mengguncang dunia. Pemerintah pun berulangkali mengingatkan adanya risiko tersebut sejak pengujung tahun lalu.

Tak tanggung-tanggung, alarm yang dinyalakan otoritas fiskal bahkan menghidupkan lampu stagflasi, yakni inflasi yang tinggi dan terjadi secara berkepanjangan.

Dewasa ini, risiko tidak terkendalinya inflasi kian nyata tatkala perang antara Rusia dan Ukraina memanas. Kondisi ini diyakini memicu inflasi energi sehingga berpotensi merembet ke indeks harga konsumen lainnya.

Belum lagi, penyebaran varian Omicron Covid-19 pada awal tahun ini berisiko mereduksi daya beli masyarakat dan berimplikasi pada tertahannya laju konsumsi rumah tangga, kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB).

Terlebih, sepanjang tahun lalu pertumbuhan konsumsi masyarakat terpantau sangat rendah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga pada 2021 hanya tumbuh 2,02%, jauh lebih rendah ketimbang level prapandemi yang berada di kisaran 5%.

Data di atas merefleksikan bahwa daya beli masyarakat pada tahun kedua pandemi Covid-19 masih cukup rapuh. Pun dengan teropong pada tahun ketiga hawar virus Corona.

Sementara itu, aspek politis memang tak bisa diabaikan dalam kebijakan yang menyentuh perut masyarakat ini. Terlebih, di dalam UU HPP pemerintah memasukkan sejumlah kebutuhan dasar ke dalam barang atau jasa kena pajak.

Di antaranya adalah bahan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan. Meskipun barang dan jasa tersebut mendapatkan fasilitas pembebasan atau tidak dipungut, hal itu tak mampu mengubah opini publik yang kadung menganggap kebijakan pajak pemerintah kejam.

Di sisi lain, cerminan indeks harga konsumen di Indonesia cukup unik lantaran sebagian besar angka penyumbang inflasi ditentukan oleh kebutuhan pokok.

Berkaca pada adanya fasilitas pembebasan di dalam UU HPP, otomatis kenaikan tarif PPN tidak akan berpengaruh langsung ke dalam inflasi karena bahan pokok menjadi barang kena pajak yang tidak dipungut.

Dengan demikian, penundaan kenaikan tarif ini lebih bermuatan politis guna meredam gejolak di kalangan masyarakat yang kini masih cukup tertatih dalam menjaga daya tahan akibat pukulan pandemi Covid-19.

“Dari segi politis akan berat memang, ketika beberapa harga meningkat karena harga komoditas, tapi pemerintah malah menaikkan tarif PPN,” kata Pemerhati Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar.

Jika dicermati, celah untuk menunda penerapan tarif baru itu memang sangat terbuka, yakni melalui substansi yang terkandung di dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP.

Ayat itu menuliskan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Perubahan tarif PPN diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) setelah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Namun menurut Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono, pemangku kebijakan perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menguatkan legalitas penundaan tersebut.

“Jika ada penundaan, otomatis harus ada Perppu agar penundaan tersebut absah secara hukum,” kata dia.

KETERGANTUNGAN PAJAK

Melongok ke belakang, semangat pemerintah untuk mengerek tarif PPN ditujukan untuk memangkas ketergantungan struktur penerimaan pajak pada Pajak Penghasilan (PPh), baik korporasi maupun orang pribadi.

Atas dasar itu, tarif PPN pun direncanakan menanjak secara bertahap, yakni 11% per 1 April 2022, dan kembali naik menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.

Hal ini pun selaras dengan tren global yang menjadikan PPN sebagai tulang punggung penerimaan negara. Selain itu, sektor konsumsi juga dianggap memiliki progres pemulihan yang lebih cepat pascakrisis.

Akan tetapi, ambisi ini menghadapi tantangan yang berat. Pertama, dari sisi kondisi ekonomi nasional. Potensi dari penerimaan PPN sangat tergantung pada dinamika ekonomi dan geliat konsumsi.

Sejalan dengan meningkatnya tarif PPN, maka akan berdampak pada penggerusan daya beli masyarakat yang pada ujungnya berisiko menghambat laju konsumsi.

Sementara itu, basis pemajakan PPN adalah konsumsi dalam negeri, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat memberikan acuan atau gambaran mengenai prospek perolehan pajak dari PPN. Artinya, ketika transaksi ekonomi meningkat, pertumbuhan ekonomi terkerek, dan setoran PPN pun melonjak.

Kedua, hambatan dari sisi administrasi, yang butuh perbaikan apabila hendak mengoptimalisasi perubahan struktur sumber penerimaan pajak ini. Musababnya, perubahan kebijakan PPN yang baru berimplikasi pada banyaknya pelaku bisnis yang menjadi pengusaha kena pajak (PKP).

Dari sisi pemerintah, administrasi kantor pajak akan meningkat sejalan dengan makin banyaknya pelaku usaha yang menjadi PKP, sehingga wajib melakukan penyetoran, pelaporan, dan pengawasan kepatuhan pajak.

Adapun dari sisi masyarakat, makin banyaknya PKP sejalan dengan perluasan objek PPN akan meningkatkan biaya kepatuhan pajak atau compliance cost.

Langkah pemerintah untuk menjadikan PPN sebagai penopang penerimaan pajak pengganti PPh kian terjal, mengingat selama ini PPN merupakan pos penerimaan negara yang paling banyak mendapatkan restitusi pajak.

Ditjen Pajak mencatat, realisasi restitusi pada tahun lalu mencapai Rp196,11 triliun, naik sebesar 13,98% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang senilai Rp171,9 triliun.

Pencairan restitusi didominasi oleh PPN Dalam Negeri yang mencapai Rp131,98 triliun, meningkat 12,36% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, serta restitusi PPh Pasal 25/29 Badan sebesar Rp54,29 triliun, tumbuh 14,48% (year-on-year/YoY).

Anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan Ajib Hamdani mengatakan, kebijakan restitusi memperbesar risiko fiskal pemerintah karena pengurang penerimaan pajak berpotensi kian besar. “Restitusi menjadi pengurang langsung penerimaan pajak.”

Tantangan lain PPN ada pada fasilitas pengecualian atau pembebasan pajak, yang menghambat daya pungut pemerintah.

Berdasarkan penghitungan Bisnis, pemerintah kehilangan sekitar 40% lebih potensi penerimaan PPN sepanjang tahun lalu lantaran rendahnya daya pungut otoritas fiskal terhadap pajak atas konsumsi masyarakat tersebut.

Kemampuan pemerintah dalam memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terefleksi di dalam value added tax ( VAT ) gross collection ratio pada 2021 hanya 59,65%. Artinya, otoritas pajak hanya berhasil memungut sebesar 59,65% dari total potensi PPN yang bisa masuk ke kantong negara.

Adapun total potensi penerimaan PPN pada tahun lalu tercatat mencapai Rp923 triliun. Angka tersebtu diperoleh dengan mengalikan tarif efektif PPN sebesar 10% dengan konsumsi rumah tangga yang sepanjang tahun lalu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai Rp9.236 triliun.

VAT gross collection ratio merupakan skema yang paling ideal untuk mengukur keberhasilan pemerintah dalam menarik pajak atas konsumsi masyarakat. Pasalnya, skema ini menggunakan basis acuan konsumsi rumah tangga.

Sesungguhnya, acuan lain untuk memotret kinerja PPN bisa dilakukan dengan VAT ratio. Hanya saja, VAT ratio kurang ideal dan bersifat lebih umum karena menggunakan basis total produk domestik bruto (PDB) di Indonesia.

Capaian VAT gross collection ratio tersebut berbanding terbalik dengan laporan belanja perpajakan atau tax expenditure yang dipublikasikan Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Selama ini, PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) selalu menempati posisi teratas dalam alokasi belanja perpajakan.

Hal ini mengindikasikan bahwa insentif yang dikucurkan oleh pemerintah untuk memacu konsumsi masyarakat selalu lebih tinggi dibandingkan dengan stimulus untuk sektor lain.

Kebijakan pajak memang cukup dilematis. Di satu sisi rumusan ini disusun untuk mengerek penerimaan negara di tengah pemulihan ekonomi dari impitan pandemi.

Namun, kebijakan yang menyangkut perut rakyat selalu menemui banyak hambatan. Oleh karena itu, langkah bijak memang patut untuk ditempuh dalam rangka mereduksi gejolak di masyarakat. (Annasa Rizki) 


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024