Harian Bisnis Indonesia     30 May 2022

Potret Semu Performa Rasio Pajak

Lagi-lagi, gerak akseleratif harga komoditas menjadi penolong pemerintah dalam menggapai angka sasaran rasio pajak. Namun, kondisi tersebut menyisakan pekerjaan rumah yang patut dibenahi, yakni rapuhnya struktur penerimaan pajak di Tanah Air.

Musababnya, keberhasilan pemerintah dalam melewati batas target rasio pajak bukan disebabkan oleh upaya ekstra atau optimalisasi dari berbagai strategi yang dilakukan oleh otoritas pajak.

Katrol rasio pajak itu amat dikendalikan oleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA) di antaranya kelapa sawit, batu bara, tembaga, nikel, minyak dan gas, serta produk sejenis lainnya.

Pada tahun ini, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menargetkan rasio pajak mencapai 9,2%, lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu yang hanya 9,11%.

Sementara itu berdasarkan penghitungan Bisnis, rasio pajak pada tahun ini berpotensi mencapai 10,64%—10,71%.

Angka itu dihitung dengan asumsi pertumbuhan ekonomi pada 2022 di kisaran 4,8%—5,5% sehingga menghasilan produk domestik bruto (PDB) harga berlaku Rp17.785,39 triliun—Rp17.904,19 triliun.

Asumsi lain yang digunakan berdasarkan pada prospek penerimaan perpajakan yang mencakup pajak, bea, dan cukai pada tahun ini yakni senilai Rp1.784 triliun, serta target PNBP SDA dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 senilai Rp121,95 triliun.

Rasio pajak itu berpotensi lebih tinggi mengingat prospek PNBP SDA pada tahun ini diyakini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan target APBN 2022 seiring dengan moncernya harga komoditas.

Persoalannya, penghitungan rasio pajak di atas, yang acap dijadikan tolok ukur oleh pemerintah, tidak merefleksikan kinerja petugas pajak secara murni.

Pasalnya, angka itu dihitung dengan menggabungkan penerimaan pajak, bea dan cukai, serta PNBP SDA atau yang disebut rasio pajak dalam arti luas.

Apabila menghitung rasio pajak dalam arti sempit yang membandingkan realisasi penerimaan pajak murni dan PDB, realisasi pada tahun ini hanya di kisaran 8,09%—8,15%. Angka itu mengacu pada prospek penerimaan pajak yang pada tahun ini ditaksir Rp1.450 triliun.

Adapun, rasio pajak dalam arti menengah yang membandingkan antara penerimaan pajak serta bea dan cukai dengan PDB, maka realisasi pada tahun ini diestimasi 9,96%—10,03%.

Dari ketiga jenis tersebut, tentu yang paling ideal untuk memotret kinerja otoritas pajak adalah dalam rasio pajak dalam arti sempit. Terlebih, bea dan cukai serta PNBP SDA adalah sumber penerimaan yang disumbang oleh instansi lain.

Otoritas pajak pun tak memungkiri prospek cerah penerimaan yang bermuara pada terkatrolnya rasio pajak amat dipengaruhi oleh harga komoditas seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

“[Ada] pengaruh [kenaikan harga] CPO ini yang bisa kita bagi dari kebun dan industri,” kata Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Ihsan Priyawibawa, akhir pekan lalu.

Jika ditelisik, sejak paruh kedua tahun lalu penerimaan negara cukup terbantu oleh melejitnya harga sejumlah komoditas, terutama batu bara serta minyak dan gas (migas).

Inilah yang kemudian menjadi salah satu engsel penentu keberhasilan otoritas pajak melampaui target penerimaan setelah selama 12 tahun selalu tak tergapai.

Pertaruhan pemerintah selanjutnya adalah pada tahun depan, lantaran prospek harga komoditas masih dipayungi tanda tanya besar.

Sekadar informasi, naiknya harga komoditas pada tahun ini salah satunya didorong oleh invasi Rusia ke Ukraina sejak Februari lalu sehingga pergerakan minyak, gas, dan produk sejenis lainnya meroket.

Seiring dengan semangat komunitas global melakukan rekonsiliasi, banyak kalangan yang meyakini keberuntungan pemerintah dari sisi fiskal bakal berakhir pada pengujung tahun.

Selain itu, pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral utama termasuk The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) juga dinilai rentan menggoyahkan kekokohan harga komoditas di level atas.

“Tantangan ada dari kebijakan tapering off, yang akan menekan harga komoditas. Kemungkinan harga komoditas pada 2023 tak setinggi tahun ini,” kata Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar kepada Bisnis.

Terlepas dari faktor lena komoditas, Fajry meyakini cukup masuk akal apabila rasio pajak pada tahun ini meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan angka yang disasar oleh pemerintah.

Terlebih, implementasi UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) juga menjadi mesin baru yang mendorong laju rasio pajak kian menanjak.

KENDALA

Akan tetapi pemerintah menghadapi kendala untuk mampu menggapai target rasio pajak pada 2022, yakni banyaknya sektor yang berkontribusi besar pada PDB. Namun, tidak memberikan sumbangsih signifikan pada penerimaan negara, yakni pertanian, konstruksi, dan real estat.

Untuk sektor real estate dan konstruksi, hingga detik ini otoritas fiskal masih memberlakukan rezim Pajak Penghasilan (PPh) Final.

Alhasil, meskipun sumbangsih kedua sektor itu pada PDB amat besar, kontribusinya pada penerimaan negara amat terbatas.

Pemerintah pun perlu mengubah rezim perpajakan dari tarif final ke tarif umum sehingga terjadi kesetaraan porsi antara PDB dan setoran ke negara.

Rezim PPh Final sejatinya telah menuai banyak dikritik. World Bank beberapa waktu lalu merilis laporan tentang skema dan pengenaan tarif pajak final untuk sektor konstruksi dan real estat di Indonesia.

Lembaga itu mencatat, mengembalikan rezim ke PPh Badan yang berlaku umum akan meningkatkan transparansi dan memastikan peningkatan ekuitas horizontal lintas sektor.

Sementara itu, berdasarkan catatan Bisnis, pemerintah melalui Kementerian Keuangan juga menyadari adanya risiko penggerusan penerimaan pajak dari pemberlakuan PPh Final, sehingga dibutuhkan evaluasi.

Dasar dari evaluasi itu adalah adanya under tax karena kebijakan exemption dan rezim pajak final untuk beberapa sektor. Akan tetapi sejauh ini masih belum ada hasil dari evaluasi tersebut.

“Sudah seharusnya skema PPh Final pada sektor konstruksi dan real estate dievaluasi kembali,” tegas Fajry.

Adapun untuk sektor pertanian, selama ini mendapatkan fasilitas tarif khusus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sehingga setoran ke kantong negara amat terbatas.

Belum lagi, pemain bisnis pada sektor ini mayoritas adalah masyarakat yang tidak memiliki badan usaha sehingga menyulitkan petugas pajak dalam melakukan deteksi.

Bisa dikatakan, pertanian masuk ke dalam kategori sektor usaha yang sulit untuk dipajaki alias hard to tax, karena sebagian besar pertanian di Indonesia ini masuk ke dalam kategori pertanian rakyat.

Inilah yang kemudian menjadi tantangan berat bagi pemerintah untuk segera dituntaskan, yakni menguatkan sisi administrasi sehingga tidak ada potensi pajak sedikitpun yang luput dari radar.


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024