Harian Bisnis Indonesia     7 Jan 2022

Optimalisasi Terantuk Beleid Teknis

Bisnis, JAKARTA — Optimalisasi berbagai kebijakan untuk meningkatkan Pajak Penghasilan yang terkandung di dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tersandung oleh lambatnya penyusunan aturan teknis. Faktanya, UU tersebut telah resmi berlaku pada 1 Januari 2022.

Sejauh ini, pemerintah hanya menerbitkan aturan teknis yang terkait dengan Program Pengungkapan Sukarela atau Tax Amnesty II yang dijalankan sejak sepekan lalu.

Aturan itu adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Wajib Pajak.

Regulasi itu pun sesungguhnya masih belum mengakomodasi seluruh ketentuan di dalam program pengampunan.

Salah satu yang masih belum tercakup adalah perincian mengenai Surat Berharga Negara (SBN) yang menjadi instrumen penampung dana repatriasi peserta PPS.

Selebihnya, substansi yang memuat tentag kebijakan di sektor Pajak Penghasilan (PPh) masih belum diterbitkan. Terutama untuk substansi anyar, yakni pemajakan atas kenikmatan atau pajak natura.

Sementara itu, berdasarkan catatan Bisnis, secara total UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) akan menelurkan sebanyak 43 aturan pelaksana, yang terdiri dari delapan Peraturan Pemerintah (PP) dan 35 Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Estu Budiarto mengatakan, saat ini sejumlah regulasi teknis mengenai PPh masih dalam tahap finalisasi di internal otoritas fiskal.

“Beberapa aturan pelaksanaan memang masih dalam proses, semoga bisa segera terbit,” kata dia saat dihubungi Bisnis, Kamis (6/1).

Kendati petunjuk teknis masih dalam proses penyusunan, Estu memastikan bahwa kebijakan baru itu telah siap diimplementasikan sejalan dengan berlakunya UU No. 7/2021.

Adapun, aturan teknis pelengkap PMK No. 196/PMK.03/2021 yang mengatur tentang perincian SBN juga masih dalam tahap penyusunan dan ditargetkan tuntas pada bulan ini.

“Sedang kami siapkan detailnya, rencana Januari akan kami rilis,” kata Direktur Surat Utang Negara Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Deni Ridwan. Perilisan aturan itu terbilang sangat lamban. 

Pasalnya, PPS resmi digulirkan dan hingga 5 Januari 2022 telah menjaring sebanyak 1.024 wajib pajak. Para peserta itu telah menyampaikan harta bersih senilai Rp559,51 miliar dengan jumlah PPh Rp67,79 miliar.

Adapun, deklarasi yang berasal dari dalam negeri senilai Rp503,24 miliar, deklarasi luar negeri Rp28,23 miliar, dan investasi pada SBN Rp28,04 miliar.

PPS menjadi program baru yang diharapkan oleh pemerintah mampu meningkatkan penerimaan pajak pada tahun ini.

Kebijakan lain yang diposisikan sebagai ‘cangkul penggali’ potensi penerimaan adalah pa-jak atas natura, yang juga belum memiliki ketentuan teknis.

Kebijakan ini didasari pada natura dan/atau kenikmatan yang memenuhi definisi penghasilan dalam UU PPh, yaitu tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh dan dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan bagi penerimanya.

Sebelum dirilisnya UU HPP, pengaturan skema fringe benefit atau natura masih bersifat non-deductible dan non-taxable. 

Hal ini menimbulkan adanya tax planning atau perencanaan pajak dengan menggeser laba melalui pemanfaatan tarif yang berbeda antara PPh Badan dan PPh Orang Pribadi, seperti pemberian kendaraan, apartemen, dan paket wisata untuk direksi atau komisaris.

Sejalan dengan langkah otoritas fiskal yang membalik pengaturan natura menjadi deductible dan taxable, maka praktik tax planning akan hilang, sehingga berpotensi meningkatkan penerimaan negara.

Aturan turunan dibutuhkan dalam rangka melegalisasi kenikmatan yang mendapatkan fasilitas pengecualian sebagai objek pajak.

Di antaranya penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, natura yang diberikan di daerah tertentu, natura yang diberikan karena keharusan kerja, natura yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN /APBD), dan natura dengan jenis dan batasan tertentu.

Pemerhati pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, kebijakan ini positif untuk menciptakan keadilan pajak, karena selama ini orang kaya acap kali memanfaatkan natura untuk menghindari kewajiban perpajakannya.

“Untuk meningkatkan fairness, akan diberlakukan aturan untuk mencegah penghindaran PPh Orang Pribadi melalui natura,” kata dia.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menambahkan, PPh masih menjadi jenis pajak yang diandalkan oleh pemerintah.

Pasalnya, setoran PPh memiliki sumber yang cukup dalam, yakni Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi, yang terdiri atas karyawan maupun nonkaryawan.

Dari sisi pemberi penghasilan, peningkatan transaksi jasa akibat pemulihan ekonomi dalam negeri akan meningkatkan setoran PPh Pasal 23 untuk vendor jasa dalam negeri dan PPh Pasal 26 untuk vendor luar negeri.

Adapun implementasi pajak natura menurutnya makin menebalkan kantong negara. Oleh sebab itu pemerintah disarankan untuk segera menyusun regulasi teknis mengenai hal ini.

“PPh Pasal 21 akan meningkat karena ada perluasan objek pemo-tongan berupa imbalan natura.”


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024