Harian Bisnis Indonesia     21 Jun 2021

Lonjakan Restitusi Menghantui

Bisnis, JAKARTA — Di tengah perubahan skema Pajak Pertambahan Nilai, pemerintah menghadapi risiko tergerusnya penerimaan dari sektor tersebut karena adanya potensi lonjakan restitusi oleh pelaku usaha pertambangan dan batu bara yang ditetapkan sebagai barang kena pajak. 

Sekadar informasi, Rancangan Undang-Undang tentang Ke-tentuan dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) menghapus ketentuan yang ada di dalam Pasal 4A UU No. 42/2009 tentang Perubah-an Ketiga Atas UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

Pasal 4A UU PPN dan PPnBM menuliskan bahwa barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, termasuk hasil pertambangan dan batu bara, adalah barang yang tidak dikenai pungutan PPN.

Akan tetapi di dalam RUU KUP, pasal tersebut dihapus. Artinya, barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, termasuk hasil pertambangan dan batu bara adalah barang kena pajak (BKP) yang wajib bayar PPN.

Apabila hasil pertambangan tersebut diekspor, maka tarif PPN yang berlaku adalah sebesar 0% sebagaimana kesepakatan pemerintah untuk mengadopsi standar internasional.

Dengan kata lain, sektor ini tidak memiliki pajak keluaran karena adanya komitmen Indonesia untuk mengikuti standar internasional tersebut.

Di sisi lain, pertambangan dan sejenisnya memiliki banyak pajak masukan. Hal inilah yang kemudian memunculkan potensi melonjaknya pengajuan restitusi PPN oleh wajib pajak.

Restitusi terjadi ketika pengusaha kena pajak (PKP) lebih banyak membayar PPN dibandingkan dengan memungut.

Misalnya, ketika seorang pelaku usaha kena pajak lebih banyak mengeluarkan biaya untuk membeli perlengkapan atau peralatan operasional, tentu PKP tersebut wajib membayar PPN.

Banyaknya pajak masukan tersebut saat dikreditkan dengan pajak keluaran hasilnya akan menimbulkan kelebihan pembayaran pajak.

Hal inilah yang kemudian disebut sebagai PPN lebih bayar sehingga pelaku usaha mengajukan restitusi. Lebih bayar dalam pajak bisa dikembalikan oleh pemerintah kepada wajib pajak melalui skema restitusi.

Sayangnya, otoritas pajak masih belum mempertimbangkan faktor potensi lonjakan restitusi dari sektor pertambangan dalam mengubah skema PPN.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neil-maldrin Noor mengatakan rencana menjadikan barang hasil pertambangan sebagai BKP merupakan bagian dari RUU KUP yang saat ini masih menunggu pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Oleh karena itu, mekanisme terkait hal ini [potensi lonjakan restitusi] belum dapat kami jelaskan secara rinci,” kata Neil kepada Bisnis, akhir pekan lalu.

Sekadar informasi, restitusi memang menjadi hak bagi seluruh wajib pajak yang dibayarkan oleh pemerintah.

Akan tetapi, makin tingginya restitusi sejalan dengan beratnya tekanan yang dihadapi pemerintah dari sisi penerimaan negara.

Namun demikian, Neil menegaskan bahwa penyusunan RUU KUP ini mempertimbangkan sejumlah risiko yang berpotensi menghalangi pemerintah dalam mendulang penerimaan pajak dalam jangka panjang.

“Kita semua tentunya berharap bahwa RUU KUP ini dapat memberikan dampak positif untuk pemulihan ekonomi nasional,” harapnya.

Sementara itu, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat, risiko penggerusan penerimaan akibat lonjakan restitusi bisa dikompensasi dengan penerimaan dari sektor Pajak Penghasilan (PPh) Badan.

“Kalaupun kondisinya seperti itu [restitusi melonjak], toh akan kena di PPh Badan, dan arah pemerintah kan mendorong adanya hilirisasi,” kata dia.

Hanya saja, pemerintah perlu melakukan pemetaan secara mendalam agar penerimaan dari sisi PPh Badan bisa meningkat dan mampu mengompensasi penggerusan dari PPN akibat restitusi yang melonjak.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menindak pelaku usaha di sektor pertambangan yang nakal atau ilegal dan memaksa untuk menjadi pengusaha patuh atau formal dengan terikat pada regulasi.

“Itu bisa dilakukan. Tapi apakah fully compensated atau tidak, butuh hitung-hitungan. Tapi garis besarnya seperti itu. Melihatnya memang harus luas,” ujarnya.

Jika pengajuan restitusi mele-jit, hal ini kontradiktif dengan semangat pemerintah untuk mendulang penerimaan pajak semak-simal mungkin melalui perubahan UU KUP.

TERBATAS

Faktanya, selama ini daya pungut otoritas pajak terkait dengan PPN masih cukup terbatas. Hal tersebut tecermin dari data value added tax (VAT) gross collection ratio yang terpantau cukup rendah pada tahun lalu, yakni 50,38%.

Artinya, otoritas fiskal hanya mampu mengutip 50,38% pajak dari potensi yang ada. Berdasarkan riset yang dilakukan Bisnis, pada tahun lalu, total penerimaan PPN tercatat Rp448,4 triliun.

Dengan produk domestik bruto (PDB) nominal senilai Rp15.434,2 triliun, maka VAT ratio tercatat 2,90%. Angka tersebut jauh di bawah realisasi tahun sebelumnya yang mencapai 3,36%.

Adapun konsumsi rumah tangga pada tahun lalu tercatat Rp8.900 triliun. Sehingga, VAT gross collection ratio pada 2020 hanya 50,38%. 

Artinya, pemerintah hanya berhasil memungut PPN sebesar 50,38% dari potensi yang ada.Realisasi pada tahun lalu itu juga jauh di bawah capaian pada tahun sebelumnya, di mana VAT gross collection ratio tercatat sebesar 59,43%. 

Angka tersebut juga didukung oleh data Ditjen Pajak Kementerian Keuangan yang mencatat daya pungut pemerintah terhadap PPN masih sangat terbatas.

Pada 2018, C-Efficiency PPN di Indonesia sebesar 0,59. Artinya Indonesia dapat mengumpulkan sebesar 59% dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.

“Kinerja PPN Indonesia masih di bawah Thailand dan Singapura,” tulis laporan Ditjen Pajak yang dikutip Bisnis.

Bisnis mencatat, sejumlah faktor yang menghambat pungutan PPN di antaranya banyaknya fasilitas pembebasan yang diberikan pemerintah, dan adanya peralihan pola konsumsi masyarakat dari yang sebelumnya dilakukan secara luring menjadi daring.

Kemudian minimnya perusahaan penyedia perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang menjadi wajib pungut, dan threshold atau batasan omzet pengusaha kena pajak (PKP) yang terlalu tinggi, yakni Rp4,8 miliar per tahun.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17020.23
USD 15594
GBP 19926.95
AUD 10286.43
SGD 11692.11
* Rupiah

Berlaku : 20 Mar 2024 - 26 Mar 2024