Harian Bisnis Indonesia     22 Sep 2020

Aspek Penegakan Diutamakan

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah bakal menekankan aspek penegakan hukum dalam implementasi pemajakan atas transaksi digital bagi penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik asing. Hal itu tecermin dari rencana pemerintah yang tengah menyusun beleid terkait dengan mekanisme sanksi kepada perusahaan asing. 

Saat ini, Kementerian Keuangan tengah merancang Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang penyampaian teguran kepada pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) luar negeri atau perwakilannya.

Berdasarkan dokumen Ditjen Pajak Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis, beleid ini merupakan alat pemerintah untuk menyampaikan teguran jika para pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan PPMSE luar negeri atau perwakilan tidak melaksanakan kewajiban perpajakan. Aturan teknis ini disusun untuk menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha dari dalam maupun luar negeri. Pasalnya, tidak semua PPMSE asing memiliki kantor perwakilan di Tanah Air. 

Adanya aturan ini diyakini memudahkan pemerintah melakukan penegakan terhadap perusahaan yang berada di luar yurisdiksi Indonesia.

“Rencana beleid ini merupakan amanat dari pelaksanaan Omnibus Law Perpajakan [RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian]” tulis dokumen Ditjen Pajak Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis, Senin (21/9).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan bahwa Ditjen Pajak terus memperkuat infrastruktur pendukung dalam memaksimalkan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dari transaksi elektronik di dalam negeri dan menyasar perusahaan asing. 

“Sekarang tinggal infrastrukturnya saja supaya kita bisa lebih akurat dalam kolektibilitasnya, dan administrasi untuk meng-collect juga menjadi tidak terlalu tinggi,” jelas Menkeu. Sri Mulyani menambahkan, UU PPN telah mengakomodasi transaksi elektronik yang melibatkan pembeli dan penjual di dalam negeri. 

Adapun pengenaan PPN pada transaksi elektronik perusahaan asing baru diatur dalam UU No. 2/2020 tentang Penetapan Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/ atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Dia menilai, pemungutan PPN pada PMSE lokal maupun asing akan memberikan perlakuan yang sama dengan transaksi konvensional. Menanggapi hal tersebut, pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat, wajar apabila pemerintah menerapkan banyak proteksi terutama bagi PPMSE asing. 

Sebab menurutnya, hal terpenting dalam sebuah implementasi kebijakan adalah dari sisi penegakan hukum. Apalagi, perusahaan yang menjadi sasaran berada di luar yurisdiksi Pemerintah Indonesia, sehingga memerlukan perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan wajib pajak yang berada di dalam negeri. 

“Bisa dipahami jikalau ada perlakuan khusus dalam penegakan,” kata Fajry. Dia menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan kajian implementasi kebijakan dari sisi penegakan ini terhadap negara lain. Sebab, kemudahan administrasi dalam perpajakan PMSE ini adalah kesamaan administrasi antarnegara. 

Langkah ini perlu dilakukan selain untuk memudahkan pemerintah dalam menyusun ketentuan teknis, juga memberikan keleluasaan kepada perusahaan PMSE asing karena mendapatkan kepastian dan tidak perlu melakukan adaptasi. 

“Jadi kalau di setiap negara berbeda-beda pusing mereka [PPMSE asing], tidak ada kepastian, dan akhirnya malah tak patuh,” ujar dia.

Selain rancangan PMK tentang teguran, pemerintah juga tengah menyusun dua aturan teknis lainnya terkait dengan PPMSE luar negeri. 

Regulasi itu adalah rancangan PMK mengenai usulan pemutusan akses terhadap pedagang, penyedia jasa, dan PPMSE asing. Khusus untuk aturan ini juga berlaku bagi PPMSE dalam negeri.

Beleid ini nantinya akan menjadi senjata bagi Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menindak PPMSE yang melanggar aturan. 

Selain itu, pemerintah juga tengah menyusun PMK terkait dengan pemutusan akses kepada menteri yang menyelenggarakan urusan komunikasi dan informatika. Rencana beleid ini ditujukan untuk memberikan landasan hukum dalam permintaan akses kepada Menteri Komunikasi dan Informatika. 

Ketiga PMK tersebut merupakan regulasi yang akan mendukung Omnibus Law Perpajakan. Saat ini, otoritas pajak tengah menyiapkan pembahasan lanjutan mengenai regulasi ini. 

PAGU BELANJA 

Data Ditjen Pajak menunjukkan, pagu belanja barang Ditjen Pajak pada tahun anggaran 2021 dipatok Rp4,2 triliun atau naik Rp813,2 miliar dibandingkan dengan pagu 2021 senilai Rp6,6 triliun. 

Salah satu pemicu kenaikan alokasi belanja barang tersebut adalah anggaran untuk pembahasan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Merujuk pada briefsheet RUU tersebut setidaknya ada empat latar belakang disusunnya Omnibus Law Perpajakan ini. 

Pertama, tarif pajak penghasilan (PPh) yang kurang kompetitif dan pengenaan PPh atas dividen di luar negeri. 

Kedua, belum adanya dasar hukum untuk menciptakan level of playing field. Ketiga, kebijakan fiskal di daerah yang tidak sejalan dengan kebijakan nasional. Keempat, ketentuan sanksi administrasi perpajakan seperti imbalan bunga dan pengkreditan pajak kurang mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024