Harian Bisnis Indonesia     22 Sep 2020

Temuan PPATK Melonjak

Bisnis, JAKARTA — Tren transaksi gelap atau mencurigakan terkait perpajakan terus naik selama pandemi Covid-19. Bahkan terdapat pula indikasi tindak pidana perpajakan dalam setiap transaksi gelap tersebut.

Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selama Juni 2020, jumlah laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) perpajakan tercatat sebanyak 172 atau naik 67% dibandingkan dengan Juni 2019 yang hanya 103 kasus. 

Sementara itu jika dilihat secara kumulatif selama semester 1/2020, jumlah LTKM sebanyak 793 atau naik 6% dibandingkan semester 1/2020 yang hanya 748 kasus. Peningkatan jumlah LTKM ini terkonfirmasi dari kenaikan hasil analisis (HA) transaksi perpajakan dari 35 menjadi 50 atau naik 42,9%. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae memang tidak menjelaskan hubungan kenaikan transaksi keuangan mencurigakan tersebut dengan pandemi Covid-19. 

Namun demikian, dia mengonfi rmasi bahwa transaksi mencurigakan terkait perpajakan meningkat cukup signifi kan. “Tindak pidana pajak ini kan masih dikategorikan berisiko tinggi. Jadi wajar kalau masih banyak pelaporannya. Kami koordinasi terus dengan Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan kepatuhan para wajib pajak,” ungkapnya saat dihubungi Bisnis, Senin (21/9). 

Dian menegaskan bahwa harus diakui secara keseluruhan LTKM yang diterima pada Juni sebanyak 3.359 naik sebanyak 1.094 LTKM atau sekitar 67,4% dari penerimaan selama Mei 2020 sebanyak 2.265 LTKM. Selain itu, berdasarkan catatan PPATK, transaksi mencurigakan paling dominan terkait dengan dugaan tindak pidana dengan jumlah 1.793 laporan, korupsi 448, narkotik 290, terorisme 193 dan bidang perpajakan 172. 

Menariknya, jumlah transaksi mencurigakannya lebih rendah dibandingkan dengan tindak pidana penipuan, korupsi, narkotik maupun terorisme. Namun, secara nominal, penerimaan negara yang dihasilkan dari hasil analisis atas transaksi mencurigakan di sektor perpajkan justru yang paling banyak. Nilai penerimaan negara dari sektor perpajakan dari 2013 – 2019 tercatat senilai Rp8,07 trilun. 

“Itu data statistik laporan transaksi yang mencurigakan. Belum tentu secara faktual akan menjadi kasus pidana,” kata Dian. Dimintai komentarnya secara terpisah, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama menambahkan bahwa terkait modus dan kaitannya dengan pandemi Covid-19, pihaknya belum bisa menyimpulkan. 

PERLU DIDALAMI

Hal itu karena DJP perlu mendalami laporan dari PPATK tersebut untuk sampai pada tahap potensi penetapan dan penagihan pajaknya. Yang jelas, kata Hestu, otoritas terus berkoordinasi dan senantiasa mengembangkan pola kerja sama yang lebih baik dengan PPATK. 

Bahkan, dia berharap kerja sama tersebut semakin memperkuat kemampuan otoritas pajak untuk mengungkap praktik atau modus kejahatan perpajakan. Salah satu kasus yang kerap ditemukan oleh otoritas dan PPATK adalah terkait dengan penyalahgunaan faktur pajak tanpa transaksi sebenarnya atau fiktif.

“Banyak juga sebenarnya yang sudah kami tindaklanjuti tetapi tidak sampai ke penyidikan tindak pidana pajak,” tutur Hestu. Dari data DJP selama 2019 diketahui bahwa otoritas telah melaksanakan penyidikan tindak pidana perpajakan (TPP) dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) untuk mengoptimalkan efek jera dan pemulihan pengembalian kerugian pada pendapatan negara (asset recovery). 

PPATK sejak beberapa waktu lalu memang telah mengingatkan potensi munculnya modus baru yang dilakukan penjahat di sektor finansial dengan memanfaatkan kedaruratan pandemi Covid-19. 

Salah satunya muncul dari proses penggunaan anggaran pandemi yang nilainya di atas Rp600 triliun. Sementara itu, pengamat pajak DDTC Bawono Kristiaji menjelaskan krisis memang berpotensi menimbulkan capital outflow. 

Sayangnya, hal ini juga belum tentu terkait dengan dana pajak. “Ya, yang pasti kalau krisis biasanya memang ada outflow,” jelasnya. 

Dilihat dari kedudukannya, PPATK merupakan lembaga sentral (focal point) yang mengkoordinasikan pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Tanah Air. 

Secara internasional PPATK merupakan suatu financial intelligence unit (FIU) yang memiliki tugas dan kewenangan untuk menerima laporan transaksi keuangan, melakukan analisis atas laporan transaksi keuangan, dan meneruskan hasil analisis kepada lembaga penegak hukum. 

Lembaga PPATK pertama kali dikenal di Indonesia dalam Undang-Undang No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang diundangkan pada 17 April 2002. Pada 13 Oktober 2003, regulasi tersebut mengalami perubahan menjadi UU No. 25/2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Dalam rangka memberikan landasan hukum yang lebih kuat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucuan uang, pada 22 Oktober 2010 juga diterbitkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menggantikan UndangUndang terdahulu. 

Keberadaan Undang-Undang ini memperkuat keberadaan PPATK sebagai lembaga independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh dari kekuasaan manapun. 

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024