Harian Bisnis Indonesia     4 Jun 2020

AS Mulai Tempuh Investigasi

Bisnis, JAKARTA — Amerika Serikat memulai penyelidikan terhadap pajak layanan digital yang dikenakan oleh para mitra dagang, seperti Uni Eropa dan India. Hasil penyelidikan akan mengarah pada keputusan pengenaan tarif pada barang yang diekspor ke Negeri Paman Sam. 

Dilansir Bloomberg, Rabu (3/6), menurut Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) di Washington, penyelidikan mencakup pajak digital yang telah diadopsi atau sedang dipertimbangkan oleh Austria, Brasil, Republik Ceko, Uni Eropa, India, Indonesia, Italia, Spanyol, Turki, dan Inggris. Langkah ini bertujuan untuk menentukan apakah pungutan dalam perdagangan elektronik mendiskriminasi raksasa teknologi AS, seperti Apple Inc., Alphabet Inc. Google, dan Amazon.com Inc. 

Penyelidikan yang disebut Bab 301 oleh USTR itu umumnya dapat berlangsung selama berbulanbulan sebelum keluar keputusan apakah tarif akan dikenakan. AS menggunakan jalan yang sama untuk menyimpulkan pajak yang dikenakan terhadap barang China yang menghasilkan tarif sekitar US$360 miliar. 

USTR sebelumnya telah menyelesaikan penyelidikan serupa pada rezim pajak layanan digital Prancis, tetapi menahan pengenaan pungutan, karena kedua belah pihak sedang bernegosiasi di Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). 

Juru bicara USTR tidak menanggapi permintaan konfi rmasi. Adapun juru bicara Google menolak mengomentari penyelidikan, tetapi mengatakan perusahaan itu menentang ‘pajak sepihak’. 

Investigasi adalah area langka kesepakatan bipartisan di Washington. Senator Chuck Grassley dan Ron Wyden, Republikan dan Demokrat terkemuka di Komite Keuangan Senat, dalam pernyataan bersama mengatakan USTR sedang ‘memeriksa dengan tepat’ pajak digital yang ‘menargetkan secara tidak adil dan mendiskriminasi perusahaan AS’ itu. 

OECD selama ini berusaha menemukan kesepakatan di antara hampir 140 negara mengenai perombakan pajak global untuk membahas bagaimana perusahaan multinasional, khususnya raksasa teknologi, dikenai pajak di negaranegara di mana mereka memiliki pengguna atau konsumen. 

TETAP KUKUH

India pada April memperluas pajak digital yang telah berlaku sejak 2016. Adapun Spanyol sedang menyiapkan pajak digital yang akan berlaku jika tidak ada kesepakatan internasional yang dicapai akhir tahun ini. Pajak itu sejalan dengan proposal dan inisiatif Uni Eropa yang sudah disetujui negara-negara lain, seperti Prancis dan Italia. 

Menurut perwakilan Pemerintah Spanyol, ketentuan itu tidak mendiskriminasi perusahaan mana pun berdasarkan kebangsaannya dan akan diterapkan secara objektif berdasarkan pendapatan perusahaan dan berdasarkan premis bahwa pajak harus dibayar di mana pun keuntungan diperoleh. 

Pejabat OECD berusaha tetap berpegang pada tenggat waktu mencapai kesepakatan tahun ini meskipun ada kemungkinan mundur karena pandemi Covid-19. Namun, sejumlah pejabat mengatakan tenggat dapat molor hingga 2021. 

Sementara itu, menurut orang yang mengetahui masalah itu, India akan mempertahankan keputusannya memperluas pajak layanan digital. 

Pemerintah India tidak berniat mengubah pendirian memasukkan dagang el (e-commerce) dalam lingkup retribusi, kata orang itu. Pajak yang lebih luas diumumkan dalam anggaran terbaru Perdana Menteri Narendra Modi pada Februari dan telah berlaku. 

Di samping mempertahankan pajaknya, New Delhi juga akan bernegosiasi dengan pemerintahan Trump untuk mencegah pengenaan tarif jika USTR menyimpulkan kebijakan India mendiskriminasi perusahaan AS. 

Sementara itu, saat pandemi memukul banyak bisnis tradisional, kebijakan menahan orang untuk tetap di rumah menguntungkan perusahaan teknologi asal AS, seperti Facebook Inc., Apple Inc., Amazon.com Inc., Netflix Inc., Alphabet Inc., dan Microsoft Corp. Perusahaan-perusahaan itu mengantongi pendapatan sekitar US$234 miliar pada kuartal I/2020, naik 14% secara tahunan. 

Laporan dari Organisasi PBB di bidang perdagangan dan pembangunan (UNCTAD) menyebutkan penjualan dagang el di seluruh dunia mencapai hampir US$26 triliun pada 2018, setara dengan hampir sepertiga produk domestik bruto global. 

Angka tersebut seperti magnet bagi para pejabat kementerian keuangan untuk mendulang pajak, termasuk pemerintah Indonesia yang baru-baru ini mengumumkan akan menerapkan pajak pada perusahaan teknologi. “Ada banyak tekanan keuangan karena dana talangan. Orang-orang membutuhkan pendapatan,” kata Stuart Harbinson, mantan pejabat senior Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 

Sementara itu, enam negara di Eropa seperti Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Turki dan Inggris telah mengumumkan rencana pengenaan pajak layanan digital. Enam negara lain, yakni Republik Ceko, Slovakia, Spanyol, Latvia, Norwegia, dan Slovenia telah membahas implementasinya. 

“Raksasa digital akan menjadi penerima manfaat utama dari krisis ini. Jadi, memajaki mereka sangat penting,” ujar Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire. 

Krisis kesehatan menimpa dunia di tengah upaya global untuk mengembangkan perjanjian pajak digital multilateral di OECD yang berbasis di Paris. Meskipun negosiator OECD telah berjanji untuk membuat perjanjian komprehensif tahun ini, beberapa kelompok bisnis termasuk US Council for International Business telah menyerukan penangguhan negosiasi selama pandemi. 

Kelompok-kelompok itu menyebut keterbatasan perjalanan dan hambatan lain sebagai rintangan utama untuk menyelesaikan kesepakatan tahun ini. “Sangat sulit untuk bernegosiasi tanpa bertemu orang-orang secara fisik,” kata Pascal Saint-Amans, Direktur Pusat Kebijakan dan Administrasi Pajak OECD.

Di antara pendukung terbesar kesepakatan internasional adalah Trump dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin yang ingin mencegah negara-negara secara sepihak menyedot pendapatan pajak dari raksasa teknologi Amerika. 

Pada Februari, OECD mengatakan memperbarui aturan pajak global dapat bernilai hingga US$100 miliar pendapatan pemerintah. Angka itu tidak signifi kan terhadap kekurangan anggaran US$3,7 triliun yang dihadapi AS tahun ini. 

Tahun lalu Trump mengirim peringatan tajam kepada para menteri keuangan dunia akan mengenakan bea masuk 100% atas anggur, keju, dan kosmetik Prancis senilai US$2,4 miliar sebagai pembalasan atas pajak layanan digital Prancis. 

“Jika ada yang akan mengambil keuntungan dari perusahaan-perusahaan Amerika, itu adalah kami, dan bukan Prancis,” ujar Trump tahun lalu.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024