Harian Bisnis Indonesia     4 Jun 2020

Aturan Teknis Dikebut

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah mengebut penyusunan aturan teknis mengenai pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi barang dan jasa digital dari luar negeri, kendati mendapat ancaman tindakan balasan dari Amerika Serikat. 

Pasal 4 PMK No. 48/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik menuliskan, pemerintah memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menunjuk wajib pungut berdasarkan dua kriteria yang akan masuk di dalam aturan pelaksana ketentuan tersebut. 

Pertama, nilai transaksi dengan pembeli barang atau penerima jasa di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan. Kedua, jumlah pengakses melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan. 

“Peraturan pelaksanaan PMK No. 48/2020 masih dalam proses pembahasan. Insyaallah segera [terbit],” kata Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Arif Yanuar kepada Bisnis, Rabu (3/6).

Arif tak menjelaskan soal jumlah nilai transaksi dan traffi c yang akan menjadi threshold bagi penunjukkan wajib pungut (wapu). Namun demikian, dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu, pemerintah memastikan proses pemungutan PPN bakal optimal sejak 1 Juli 2020. 

Seperti diketahui, pemerintah telah menetapkan pemungutan PPN atas penjualan barang dan jasa digital oleh penjual yang dilakukan oleh pedagang atau penyedia jasa luar negeri baik secara langsung maupun melalui platform marketplace. 

Dengan berlakunya ketentuan ini maka produk digital seperti streaming musik dan film, aplikasi dan gim digital, serta jasa online dari luar negeri akan diperlakukan sama seperti berbagai produk konvensional yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari yang telah dikenai PPN, serta produk digital yang dijual oleh pelaku usaha dalam negeri. 

Segera setelah aturan ini berlaku pada 1 Juli 2020, Dirjen Pajak akan menetapkan kriteria pelaku usaha yang wajib menjadi pemungut PPN produk digital, serta daftar pelaku usaha yang ditunjuk untuk menjadi pemungut. 

Dengan demikian, maka pemungutan PPN paling cepat akan dimulai pada Agustus sehingga diharapkan memberi cukup waktu baik bagi pihak terkait mempersiapkan sistem pemungutan, pembayaran, dan pelaporan yang mudah, sederhana, serta efisien. 

Penegasan pemerintah ini disampaikan menanggapi ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) yang akan melakukan aksi balasan terhadap negara yang mengenakan pajak ke perusahaan digital asal negara tersebut. Namun ancaman tersebut dinilai bisa menjadi bumerang. 

Pakar Pajak DDTC Darussalam mengatakan, prospek tertundanya konsensus global telah meningkatkan ancang-ancang dari berbagai negara misalnya Austria, Turki, Italia, dan Indonesia untuk mengatur pajak digital secara unilateral. 

“Dalam hal ini, hegemoni AS tentu makin mendapatkan perlawanan dan agaknya AS juga akan sangat berhitung jika mengambil langkah balasan,” kata dia. 

Darussalam menjelaskan, perlu dipahami bahwa dalam konteks pajak internasional maupun perdagangan internasional dikenal prinsip nondiscrimination. 

Keduanya sama-sama berpendapat bahwa tidak boleh terjadi perlakuan yang berbeda berdasarkan kewarganegaraan. “Khusus sistem perdagangan internasional ini disebut sebagai prinsip national treatment yang diatur WTO [World Trade Organization],” jelasnya. 

PENERAPAN SEPIHAK 

Sementara dalam konteks digital, menurut Darussalam yang sering dikaitkan dengan polemik dalam perdagangan internasional adalah pengaturan pengenaan PPh atas entitas digital bukan PPN. Dalam hal tersebut, belum adanya konsensus global tentang tata cara pemajakannya mendorong negara menggunakan pajak transaksi elektronik (PTE) secara sepihak. 

Menariknya, lanjut dia, khusus untuk PTE pengenaannya seringkali hanya ditujukan untuk entitas digital dengan nilai di atas peredaran bruto tertentu yang notabene adalah raksasa digital. 

“Mayoritas berasal dari AS. Inilah yang membuat berang AS sehingga mendorong aksi balasan di ranah perdagangan. Artinya, diskriminasi dalam hal pajak dibalas dengan diskriminasi dalam hal perdagangan,” jelasnya. 

Namun demikian, ada dua perkembangan terkini yang akan menentukan ada atau tidaknya aksi balasan tersebut. 

Pertama, AS sebagai negara G20 telah memberikan mandat pembahasan konsensus global PPh digital kepada The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). 

Kedua, prospek tertundanya konsensus telah meningkatkan ancang-ancang dari berbagai negara semisal Austria, Turki, Italia, dan Indonesia untuk mengatur secara unilateral.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024