Harian Bisnis Indonesia     5 Dec 2019

Syarat Dagang-el Diperketat

Bisnis, JAKARTA — Bisnis perdagangan elektronik akan semakin ketat setelah pemerintah menerbitkan PP No.80/2019 yang menerapkan sejumlah kewajiban yang setara antara pelaku usaha dagang online dengan konvensional.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan Peraturan Pemerintah No. 80/2019 Tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) merupakan salah satu upaya pemerintah menciptakan persamaan level persaingan antara pedagang daring dan luring.

Sejumlah kewajiban bagi pedagang daring antara lain harus memiliki izin usaha, mencantumkan identitas legal, mematuhi aturan perpajakan hingga aspek perlindungan konsumen.

Menteri Agus menyebutkan telah menyiapkan aturan turunan untuk memperkuat beleid tersebut. “Intinya PP ini sudah memenuhi upaya pemerintah menciptakan persamaan perlakuan dan persaingan antara dagang-el dan pedagang offline. Kami akan akan segera keluarkan peraturan pendukungnya dalam waktu dekat,” katanya, Rabu (4/12).

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengapresiasi langkah pemerintah menerbitkan PP No.80/2019. Menurutnya, PP itu dapat menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk mengatur secara lebih ketat bisnis perdagangan daring.

Namun dia menilai perlu adanya ketentuan turunan dari PP tersebut yang memperkuat kesetaraan antara pelaku usaha dagang daring dan luring. Salah satunya mengenai sistem perpajakan bagi pelaku usaha dagang el.

“Di aturan itu disebutkan pelaku PMSE harus mengikuti ketentuan perpajakan dan izin usaha yang ada. Namun kalau tidak segera dibuatkan peraturan turunannya, tentu tidak akan menciptakan level of playing field yang sama dengan pelaku usaha luring,” kata Hariyadi.

Dia mengatakan, pemerintah tidak perlu ragu-ragu dalam memungut pajak dari pelaku usaha daring, seperti yang pernah dilakukan pemerintah ketika mencabut Peraturan Menteri Keuangan No. 210/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik pada tahun ini.

Hariyadi mengusulkan perlunya penyesuaian aturan bagi pelaku usaha luring demi menciptakan kesamaan perlakuan dengan pelaku usaha daring. Menurutnya, pemerintah perlu mengurangi peraturan-peraturan yang tidak perlu bagi pelaku usaha daring.

“Misalnya ketentuan zonasi bagi ritel modern. Kalau dirasa tidak perlu, ya dicabut saja. Karena di dagang-el, tidak ada ketentuan seperti itu,” kata Hariyadi.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey mengatakan pelaku usaha perdagangan daring harus mendapatkan kewajiban perpajakan yang setara dengan pelaku usaha luring.

Dalam hal ini dia merujuk pada ketentuan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang yang diperjual belikan melalui platform dagang elektronik dan pajak penghasilan dari pelaku usaha perdagangan daring.

“Memang di PP biasanya ketentuannya tidak diatur secara perinci. Namun di peraturan turunannya harus ada dong. Sebab kami dari pelaku usaha offline dikenai peraturan perpajakan yang sangat ketat,” ujar Roy.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengaku belum dapat berkomentar mengenai beleid tersebut. “Kami masih mempelajarinya, sehingga kami belum bisa berkomentar,” jelasnya.

Hal senada diungkapkan oleh AVP of Public Policy and Government Relations Bukalapak Bima Laga. Dia mengaku sedang mempelajari beleid itu. “Kami sedang pelajari PP tersebut dan mempertimbangkan masukan yang dapat diberikan kepada pemerintah agar selaras dengan kebutuhan industri kami,” katanya.

Sementara itu VP of Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak mengatakan PP No.80/2019 tersebut perlu dipertimbangkan kembali karena tidak sejalan dengan upaya pemeritnah mendorong kemudahan berbisnis dan pertumbuhan UMKM baru.

“Selain itu dengan adanya aturan ini artinya yang boleh berbisnis online hanya pengusaha besar dan memiliki izin. Padahal dengan kemudahan berbisnis online, pengusaha yang awalnya sampingan atau coba-coba, akhirnya bisa jadi usaha serius dan kemudian memiliki izin,” ujarnya

Selain itu dia juga menyoroti tidak jelasnya tata cara penegakan aturan tersebut ke platform sosial media dan pesan singkat yang banyak berisi transaksi informal, tidak termediasi, dan rentan akan penipuan

“Bayangkan, lewat aturan ini, model bisnis marketplace c2c harus melakukan penyesuaian dengan hanya menerima merchant yang sudah besar dan memiliki izin,” ujar Nuraini.

PUNGUTAN PAJAK

Secara terpisah, Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan bahwa pihaknya sedang mencari cara lain untuk memajaki transaksi di dagang-el. Akan tetapi, hingga saat ini dia menegaskan pemerintah tidak akan merilis beleid baru mengenai skema perpajakan bisnis online.

“Jadi, saya anggap tidak perlu serta-merta kita hidupkan PMK 210/2018, sekarang yang terpenting adalah mengeksplorasi data. Kalau sudah terkonfirmasi, data ini yang harus kami selesaikan dulu untuk persiapkan di 2020,” ujar Suryo.

Dia menjelaskan, dalam transaksi online, terdapat tiga pihak dalam setiap transaksi yakni pembeli, penjual, dan dagang-el sendiri selaku platform. Semakin banyak pihak yang terlibat, maka semakin besar pintu masuk bagi Ditjen Pajak untuk mengakses informasi dan memperkaya data transaksi.

Selain itu, keseluruhan transaksi di dagang-el juga selalu bermuara pada rekening perbankan sehingga DJP akan cenderung memanfaatkan data perbankan tersebut.

Sementara itu Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menyatakan, ada pasal yang sudah tercantum secara normatif terkait mekanisme penerimaan dari dagang-el dalam PP No. 80/2019 itu.

Adapun pada pasal 11, menurut dia masih bersifat umum, normatif, sesuai ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku.

Oleh sebab itu, jika pelapak daring mematuhi ketentuan perundang-undangan perpajakan, serta sudah memenuhi persyaratan menjadi Wajib Pajak, tentu sudah mengantongi Nomor Pokok Wajib Pajak.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024