bisnis.com     3 Jul 2019

Pembebasan Pajak Perkebunan Dikaji

Bisnis, JAKARTA — Kementerian Keuangan masih mencari cara untuk memfasilitasi permintaan pelaku usaha perkebunan mengenai pembebasan pa- jak pertambahan nilai atau PPN sebesar 10% yang selama ini masih dibebankan terhadap komoditas tersebut.

Staf Ahli Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan bahwa pihaknya sedang menjajaki kemungkinan untuk mengubah Peraturan Pemerintah No. 81/2015 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Beleid itu memuat perubahan sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013 yang menganulir PP No. 31/2007 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN.

Sejak putusan MA itu dikeluarkan, daftar barang kena pajak (BKP) yang sebelumnya bebas PPN menjadi kena PPN, begitu pun sebaliknya, terutama di subsektor perkebunan.

Implikasi dari pemberlakuan regulasi perubahan ini berdampak pada barang pertanian berupa buah-buahan dan sayur-sayuran, beras, gabah, jagung, sagu, dan kedelai yang masuk daftar barang tidak kena pajak.

Sementara itu, barang hasil pertanian yang mencakup produk perkebunan, tanaman hias dan obat, tanaman pangan, dan hasil hutan yang semula dibebaskan dari pajak, kini menjadi objek yang dikenai PPN.

“Dengan adanya putusan ini banyak pihak yang mengusulkan barang-barang tadi diberi fasilitas, seperti usul dari asosiasi industri kakao yang meminta barang tersebut diberi kebebasan kembali. Jika merujuk pada undang-undang, barang hasil pertanian adalah tetap barang kena pajak dapat diberikan fasilitas hanya melalui peraturan pemerintah,” kata Suryo dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Selasa (2/7).

Menurutnya, Kementerian Pertanian telah merespons usulan pelaku usaha dengan mencoba memformulasikan kembali melalui perubahan PP No. 81/2015, dengan mengecualikan sawit di dalamnya. “Jadi, semua barang hasil pertanian kecuali sawit dibebaskan.”

Selain kajian soal perubahan PP No. 81/2015, Suryo menjelaskan bahwa pihaknya kini sedang menyiapkan alternatif lain jika memungkinkan melalui kerangka UU PPN.

“Jadi, nanti tetap sebagai barang kena pajak, tetapi diberi kemudahan dan kesederhanaan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya. RPP [Rancangan Peraturan Pemerintah] di bawah Kemenko Perekonomian,” kata Suryo.

Kehadiran regulasi yang diharapkan dapat mewujudkan pembebasan pajak bagi hasil pertanian, khususnya perkebunan tersebut telah dinanti oleh pelaku usaha sejak lama.

Dalam surat yang disampaikan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani pada akhir Mei 2019, pelaku usaha menyarankan Sri Mulyani untuk menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur pembebasan PPN 10% untuk komoditas perkebunan karena pembahasan regulasi baru dalam PP dipastikan tak rampung dalam waktu cepat.

Ketua Umum Dewan Karet Indonesia Azis Pane menilai bahwa pembahasan soal pembebasan PPN 10% ini terlalu berlarut-larut dan menyita waktu.

“Sejak rapat dengan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian kami kira sebulan bisa jadi, ternyata sampai sekarang tidak terlihat hasilnya,” kata Azis kepada Bisnis.

Dia menjelaskan bahwa pemberlakuan PPN ini sangat memengaruhi kinerja sektor pertanian. Pihak yang paling terbebani atas pengenaan PPN 10% itu, katanya, adalah para petani.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024