Harian Kompas     13 Jun 2019

Pemerintah Ubah Skema Penghitungan

JAKARTA, KOMPAS Pemerintah akan mengubah skema penghitungan kewajiban pajak untuk perusahaan digital raksasa berbasis internet (over the top). Penarikan pajak didasarkan pada volume transaksi kegiatan ekonomi, bukan ada atau tidak adanya bentuk usaha tetap.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kewajiban pajak dari perusahaan lintas negara yang menjalankan bisnis di Indonesia, seperti Google, Facebook, dan Twitter, tidak lagi berdasarkan ada atau tidak bentuk usaha tetap (BUT). Namun, seberapa banyak mereka mendapatkan keuntungan ekonomi di Indonesia.

”Indonesia tidak akan menunggu konsensus global karena penerimaan pajak tetap harus ada. Jadi, seperti yang saya sampaikan dalam forum G-20, sebelum mencapai konsensus global, setiap negara berhak membuat pendekatan yang mereka anggap adil,” kata Sri Mulyani, Rabu (12/6/2019), di Jakarta.

Direktorat Jenderal Pajak akan menghitung besaran pajak yang mesti dibayar perusahaan berbasis teknologi yang melakukan transaksi di Indonesia. Besaran pajak dihitung berdasarkan volume transaksi kegiatan mencakup penjualan, iklan, atau jejak transaksi lain. Penarikan pajak mengacu pada Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh).

Menurut Sri Mulyani, langkah pemerintah menarik pajak di luar BUT mungkin menimbulkan perselisihan dengan perusahaan. Pendekatan BUT dinilai tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Namun, sejauh ini belum ada rencana revisi aturan pajak.

Keputusan Indonesia mengubah skema penghitungan kewajiban pajak berkaca dari Inggris dan Perancis. Keduanya membuat pendekatan sendiri, tanpa konsensus global, dengan mengacu pada volume transaksi kegiatan ekonomi.

Pengajar hukum pajak Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Adrianto Dwi Nugroho, berpendapat, penarikan pajak terhadap perusahaan berbasis teknologi yang bukan BUT hanya bisa dilakukan jika mereka punya anak perusahaan yang berdomisili di Indonesia. Aturan itu mengacu persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B).

Dalam aturan P3B, anak perusahaan yang berdomisili di Indonesia berstatus wajib pajak dalam negeri sehingga laba dari layanan digital dapat dikenai PPh badan dalam negeri. Sementara BUT tetap jadi wajib pajak luar negeri.

”Kalau sudah ada anak perusahaan yang berdomisili di Indonesia tidak perlu pajak yang baru karena semua laba usaha bisa dikenai PPh,” ujar Adrianto.

Menurut Adrianto, jika pemerintah hanya mengubah interpretasi aturan BUT yang ada saat ini, justru akan timbul sengketa pajak. Oleh karena itu, perlu ada aturan main baru yang bukan memodifikasi atau mengubah cara pandang.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, Indonesia perlu menyadari bahwa opsi terbaik untuk memungut pajak ekonomi digital tidak semata tentang potensi penerimaan terbanyak. Indikator sistem perpajakan seharusnya bersandar pada prinsip keadilan jangka panjang. Indonesia harus berjuang agar mendapat bagian pajak yang lebih adil.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024