Harian Kompas     11 Jun 2019

Pemerintah Perlu Tegas Soal Pajak Perusahaan Asing

JAKARTA, KOMPAS – Penyedia layanan aplikasi melalui internet lokal mendukung upaya pemerintah untuk bersikap tegas memungut pajak pengusaha digital asing yang memiliki transaksi dari dan ke Indonesia. Dengan demikian akan tercipta kesetaraan perlakuan.

Sebelumnya, dalam acara simposium pajak di Jepang, Sabtu (8/6/2019), para menteri keuangan dari negara-negara kelompok G20 sepakat merumuskan aturan pemungutan pajak kepada perusahaan teknologi besar. Kesepakatan ini muncul karena sejumlah perusahaan raksasa, seperti Facebook dan Google, berusaha menurunkan tagihan pajaknya dengan cara mencatatkan laba di negara-negara berpajak rendah, meskipun konsumen terbesar mereka bukan dari wilayah itu.

Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Ignatius Untung, Senin (10/6/2019), berpendapat, di Indonesia memang masih ada celah untuk menghindari pemungutan pajak terutama dari penyedia layanan aplikasi konten melalui internet (over-the-top/OTT). Dia menyebut transaksi daring masih tetap berlangsung meski perusahaan OTT itu belum mengantongi izin bentuk usaha tetap.

Di Indonesia masih ada celah, terutama bagi penyedia layanan aplikasi konten melalui internet, untuk menghindari pajak.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35 Tahun 2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap. PMK No 35/2019 mewajibkan orang pribadi atau perusahaan asing yang berbisnis di Indonesia mendaftar untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kepemilikan NPWP mempertegas bentuk usaha tetap (BUT) sebagai subyek pajak luar negeri. Implementasi PMK ini berlaku sejak 1 April 2019.

Selain Pajak Penghasilan, PMK Nomor 35 Tahun 2019 mewajibkan mereka membayar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila melakukan penyerahan obyek pajak.

“Fokus seharusnya tidak melulu pada Google dan Facebook saja. Ada sejumlah perusahaan OTT, misalnya menawarkan layanan teknologi pemasaran dan punya jejaring besar, tetapi mereka tidak punya kantor di Indonesia,” ujar Ignatius.

Isu mengatur pungutan pajak kepada penyedia OTT asing kompleks. Untuk OTT sektor perdagangan secara elektronik atau e-dagang, dia menyebut celah hukum yang dimanfaatkan asing adalah nominal bea masuk barang.

Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono menyampaikan pendapat senada. Dia menilai PMK Nomor 35 Tahun 2019 hanya mengatur dalam perspektif badan usaha, namun tidak mengatur dari aspek industri. Oleh karenanya, dia menyarankan, kehadiran PMK itu perlu dilengkapi peraturan lain. Misalnya, Permenkominfo mengenai OTT sehingga semakin jelas kewajiban penyedia OTT.

Apalagi, menurut Kristiono, hadirnya OTT bersinggungan langsung dengan bisnis operator telekomunikasi. Pelanggan operator mengonsumsi layanan data seluler untuk mengakses beberapa produk OTT. Perilaku seperti itu sudah jamak terjadi.

Sebagai gambaran, konsumsi layanan data seluler selama arus mudik/balik dan libur lebaran 2019. Telkomsel mencatat kenaikan lalu lintas konsumsi data tertinggi terjadi sehari sebelum lebaran yaitu sebesar 19,30 Petabyte atau naik 12,3 persen dibanding hari normal. Sebanyak 30,4 persen dari total lalu lintas konsumsi data dipakai mengakses media sosial, diikuti 28,7 persen untuk menonton video beraliran langsung, dan 15,7 persen berkomunikasi menggunakan aplikasi pesan instan.

Di XL, kenaikan lalu lintas konsumsi data terjadi sehari sebelum dan sesudah lebaran 2019. Persentase kenaikannya sebesar 24 persen dibanding hari normal. Rata-rata peningkatan lalu lintas konsumsi data untuk mengakses aplikasi pesan instan yaitu 48 persen, akses media sosial 17 persen, menonton video beraliran langsung 22 persen, dan bermain gim daring 15 persen.

Sementara Hutchison Tri Indonesia (Tri) mengklaim, kenaikan lalu lintas konsumsi data mencapai lebih dari 40 persen dibanding hari normal dan terjadi mulai sepuluh hari sebelum Lebaran. Kontributor terbesar peningkatan lalu lintas konsumsi data adalah pemakaian menonton dan membuat video beraliran langsung, seperti melalui YouTube, Instagram Story, dan Live Report Instagram.

“Jenis layanan yang ditawarkan penyedia OTT itu beragam. Hal paling pokok harus diperhatikan adalah mengklasifikasikan berdasarkan kategori layanan. Setelah diklasifikasikan, pemerintah baru menentukan OTT jenis apa yang perlu lisensi, registrasi, dan tidak perlu keduanya,” kata Kristiono.

Direktur Eksekutif Indonesia Information Communication Technology Institute Heru Sutadi berpendapat, pemerintah perlu tegas dalam mengimplementasikan aturan apapun terkait penyedia OTT. Misalnya, soal kebijakan wajib badan usaha tetap dan mencatatkan semua transaksi dari/ke Indonesia. Jika pemerintah tegas sejak lama, permasalahan nilai pajak dan menghitung produk domestik bruto layanan OTT tidak ada.

Senada dengan Ignatius ataupun Kristiono, Heru mengatakan, pemerintah sekarang “mengincar” perusahaan OTT raksasa yang menawarkan layanan iklan. Misalnya, Google dan Facebook. Namun, layanan OTT luas dan beragam karena dalam perkembangannya sekarang ada penyedia yang bertransaksi daring dan menjual data ke pengguna pihak ketiga.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024