Harian Kontan     27 May 2019

INSA Minta Perlakuan Sama di Pajak Pelayaran

Namun sebagian perusahaan pelayaran tidak mempersoalkan kebijakan perpajakan
 
JAKARTA. Pelaku industri pelayaran nasional mengharapkan perlakuan adil terkait kewajiban perpajakan. Oni agar mereka memiliki daya saing di pasar global. Pasalnya, pelayaran internasional tidak dikenakan pembayaran pajak pendapatan dan pajak pertambahan nilai, sedangkan pelaku pelayaran nasional dikenakan.

Indonesian National Shipowner Association (INSA) meminta perlakuan yang sama sebagaimana pelayaran asing. Hal ini juga demi menjaga agar pelaku industri perkapalan Indonesia tidak jago kandang.

Carmelita Hartoto, Ketua Umum INSA mengatakan, tujuan perlakuan yang sama terkait perpajakan adalah untuk meningkatkan daya saing nasional dengan pelayaran asing. "Tujuan akhirnya adalah untuk menyeimbangkan neraca jasa transportasi ekspor dan impor yang selama ini defisit," terang dia kepada KONTAN, pekan lalu.

Dari kebijakan perpajakan tersebut disebutkan nilai yang dibebankan untuk pajak pertambahan nilai adalah 1,2% final. Sedangkan untuk pajak pendapatan dari jasa angkut atau freight sebesar 10%. Kemudian pajak pertambahan nilai (PPN) bahan bakar 10% dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) daerah untuk solar adalah 5%.

Menurut Carmelita, dampak yang ditimbulkan dari kebijakan perpajakan tersebut sudah jelas yakni biaya jasa angkut atawa freight pelayaran nasional dinilai lebih mahal daripada pelayaran asing. INSA mengklaim, akibatnya sampai 90% muatan ekspor maupun impor dibawa oleh kapal asing. "Jadi, bagi pelayaran nasional hanya bisa jadi pemain jago kandang," sindir Carmelita.

PT Trans Power Marine Tbk (TPMA) tidak ambil pusing dengan perlakuan perpajakan yang berbeda antara pelayaran nasional dan pelayaran internasional. Manajemen berdalih, kebijakan fiskal tersebut tidak terlalu membebani perusahaan.

"PPN dan PPh yang harus dibayarkan 10% dan 1,2%, tidak masalah untuk kami kare- na sudah final," tukas Rudi Sutiono, Direktur Keuangan Trans Power Marine Tbk.

Selain itu, dalam industri pelayaran, perusahaan dapat dibebaskan dengan adanya surat keterangan tidak dipungut (SKTD). Maka TPMA tidak merasa terganggu pada arus kasnya. "Yang terpengaruh dari kebijakan tersebut yakni perusahaan kapal besar," ungkap Rudi.

TPMA juga tak terganggu lantaran ada kesepakatan yang terjalin dengan pelanggannya. "Yang penting cash flow terjaga melalui deal de- ngan customer yang bisa tertagih. Jadi bagi kami setelah tertagih bisa untuk bayar PPN dan PPh bahkan sekarang bisa membagikan dividen," beber Rudi.

Donny Indrasworo, Direktur PT Wintermar Offshore Marine Tbk (WINS) juga tidak begitu mempersoalkan masalah kesenjangan kebijakan fiskal yang berlaku bagi industri perkapalan dalam negeri. Pasalnya, pelaku usaha masih tertolong adanya SKTD.

"Mungkin untuk pajak penghasilan yang 10% lebih baik diturunkan. Namun sebenarnya tidak masalah karena bisa mengurus SKTD," kata dia.

Meski demikian, Donny memberi catatan bahwa dalam mengurus SKTD prosesnya harus lebih konsisten dan dipermudah. Dari pengalaman mereka, mengurus SKTD memakan waktu hingga 15 hari, padahal dalam aturannya hanya membutuhkan waktu lima hari kerja.

Wintermar juga tidak mempermasalahkan kebijakan pelayaran ini. "Kami akan patuh, karena dengan pembayar pajak tentu dapat meningkatkan APBN kita," imbuh Donny.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024