Harian Kontan     21 Feb 2019

Pajak Korporasi di Luar Negeri Diperlonggar

Revisi pungutan pajak deviden perusahaan di luar negeri dijanjikan akan untungkan pebisnis
 
JAKARTA. Ada kabar baik bagi pengusaha. Pemerintah akan memperlonggar aturan pembayaran pajak penghasilan (PPh) bagi pengusaha Indonesia yang memiliki perusahaan di luar negeri.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Kementerian Keuangan akan merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) atas perlakuan penghasilan dari perusahaan terkendali di luar negeri yang dimiliki wajib pajak Indonesia atau Controlled Foreign Company (CFC).

Lewat revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 107/ PMK.03/2017, Ditjen Pajak mengaku akan bertindak adil atas PPh yang diperoleh pebisnis. Pelonggaran dilakukan lantaran demi mencegah penghindaran pajak antarnegara yang dilakukan badan usaha, dengan upaya menurunkan beban PPh usaha.

Pelonggaran, antara lain dengan mengubah dasar pengenaan deemed dividend hingga perubahan definisi laba setelah pajak. Jika merujuk aturan lama, wajib pajak Indonesia yang punya saham di luar negeri, baik langsung maupun tak langsung, minimal sebesar 50% dan sahamnya tidak terdaftar di bursa saham, dikenai deemed dividend. Sayangnya, aparat pajak belum menyebut besarannya.

Selain itu, revisi aturan juga akan memasukkan jenis penghasilan perusahaan, yakni penghasilan bunga dan sewa. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan memastikan, aturan baru tersebut akan menguntungkan pengusaha karena secara detail akan ada jenis-jenis penghasilan yang masuk kategori bentuk penghindaran pajak.

Misal, "Kalau dia membangun company di luar negeri untuk aktif memanufacturing, itu bukan menghindari pajak tapi ekspansi usaha," terang Robert, Rabu (20/2). Pemerintah berharap, ketentuan ini bisa mendukung pengusaha Indonesia ekspansi keluar negeri.

Pelonggaran ini akan mempengaruhi penerimaan pajak. Tapi, penurunan penerimaan PPh dari sektor ini nilainya tidak besar. "Karena CFC rule berlaku untuk perusahaan yang sahamnya lebih dari 51% dimiliki WNI. Tak banyak orang Indonesia yang memiliki perusahaan di luar negeri yang memiliki modal lebih dari 51%," jelas Robert.

Saat ini kantor pajak masih membahas revisi aturan ini. Targetnya, revisi aturan bisa kelar pada Maret 2019 nanti.

Mendukung ekspansi

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Tax Center Ajib Hamdani mengatakan, pemerintah harus segera mengevaluasi aturan CFC ini. Menurut dia, prinsip dan filosofi aturan CFC bertentangan dengan aturan perpajakan.

Pertama, tiap perusahaan pasti punya penghasilan. Hal yang berlawanan dengan aturan perpajakan adalah, pemerintah sewenang-wenang mendefinisikan wajib pajak sudah menerima penghasilan atas dividen meski belum dibagi. Ini artinya, "Pemerintah ingin ambil pajak di depan," ujar Ajib.

Kedua, pemerintah terlalu memaksakan definisi saham pengendali saat mengakumulasikan saham dalam negeri, atas dua entitas berbeda. "Jadi pemerintah memungut pajak atas saham pengendali hanya berdasar asumsi, bukan realitas pengendali," tegas Ajib.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menambahkan, sejak aturan CFC itu terbit di 2007, CITA sejatinya sudah mengingatkan Ditjen Pajak bahwa ketentuan itu tak adil bagi wajib pajak.

CITA bahkan mengaku sudah mengusulkan agar pemerintah melakukan perubahan peraturan CFC sejak tahun lalu. Menurut Yustinus, dengan aturan lama, wajib pajak dalam negeri yang memiliki perusahaan di luar negeri untuk tujuan mengembangkan bisnis bisa mengalami disinsentif.

Pasalnya, bagi pelaku bisnis, dividen yang ditetapkan dan diperolehnya atas penyertaan modal di perusahaan luar negeri akan mengurangi modal kerja sehingga merugikan mereka. Bisa saja, perusahaan sengaja tak membagi laba karena akan investasi.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024