Harian Kontan     22 Jan 2019

Tren Dunia Mengarah Tarif Pajak Murah

Penelitian terbaru OECD: tarif pajak korporasi global turun rata-rata 21,4%, Indonesia mahal
 
JAKARTA. Era tarif pajak mu- rah sudah dimulai. Rata-rata tarif pajak penghasilan (PPh) badan usaha alias korporasi di dunia hanya 21,4% di tahun 2018. Tarif ini turun drastis dibanding tahun 2000 yang mencapai 28,6%.

Tren ini jelas menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Pasalnya, hingga saat ini tarif PPh kita di level 25% . Tarif ini lebih mahal di atas rata-rata global. Tak pelak, di tengah tren penurunan PPh badan global, ini membuat beban pebisnis di Indonesia menjadi lebih besar dan berat.

Hasil penelitian Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) di berbagai negara di dunia dalam dua dekade terakhir, tren tarif PPh melandai. Keluar akhir pekan lalu, penelitian ini juga menyebut semakin sedikit negara dengan tarif PPh badan di atas 30%.

Dari 94 tax jurisdiction, atau negara atau wilayah yang punya kewenangan memungut pajak yang didata OECD, 60% di antaranya mengenakan tarif PPh badan 30% atau lebih pada tahun 2000. Tahun lalu, jumlah 60% itu turun, tinggal 20% dari negara yang menerapkan pajak tinggi.

Lebih terperinci lagi, sebanyak 76 negara, mematok PPh badan lebih rendah, sedang 12 negara atau wilayah lainnya mempertahankan tarif dan 6 negara mengenakan tarif lebih tinggi. Bahkan, 12 negara menghilangkan rezim PPh badan alias mengenakan tarif 0% sejak tahun lalu.

Nyatanya, meski tarif PPh turun, kontribusi pajak perusahaan terhadap total penerimaan pajak negara-negara itu naik. Misal pada tahun 2016, pajak perusahaan mengambil porsi 13,3% dari total penerimaan pajak di 88 negara yang didata OECD. Angka ini naik ketimbang tahun 2000 yang hanya 12%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebelumnya, mengakui bahwa tren penurunan tarif pajak badan tengah berlangsung di banyak negara. Alhasil, Indonesia tak bisa tinggal diam. Hanya pemerintah butuh waktu mengkajinya.

Tak bisa cepat, penurunan tarif harus lewat revisi undang-undang (RUU) PPh. Hanya, revisi RUU ini menunggu antrean lantaran pemerintah dan DPR memprioritaskan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Celakanya, pembahasan RUU KUP di DPR molor dari target 2018. Bahkan, tahun ini belum tentu bisa terlaksana.

Tapi, Ketua Komisi XI DPR Melchias Marcus Mekeng menyatakan, DPR tak akan membahas RUU itu hingga usai pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) April 2019. "Kami sedang turun ke daerah pemilihan, belum bisa membahasnya," ujar Mekeng kepada KONTAN, Senin (21/1).

Kendati begitu, Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun yakin legislator berkomitmen menyelesaikan RUU KUP periode 2019 ini. RUU PPh harus menunggu RUU KUP selesai dulu.

Ketua Bidang Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widya Pratama menegaskan, penurunan tarif pajak adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Apalagi, "Tren dunia, tiap negara berlomba-lomba menarik investasi masuk," ujar Siddhi.

Penurunan tarif PPh diperlukan untuk menarik minat investasi langsung serta turut meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Tarif PPh badan Indonesia di level 25% termasuk salah satu yang tertinggi di antara negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, terutama Singapura.

Di tengah tren pelambatan ekonomi global, ketegangan perdagangan global akibat sengketa dagang Amerika Serikat dan China, penurunan tarif PPh bisa jadi daya tarik investasi. "Relokasi akibat perang dagang, perusahaan multinasional akan melihat negara yang investor-friendly, salah satunya dilihat dari aspek perpajakannya," ujar Siddhi.

Peneliti Perpajakan DDTC Bawono Kristiaji mengingatkan, penurunan tarif pajak bukan satu-satunya insentif untuk mendorong investasi. "Ada faktor lain seperti situasi politik, ketersediaan infrastruktur, akses terhadap pasar yang juga harus jadi perhatian," tutur Bawono.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024